Kamis, 18 Agustus 2011

ANALISIS FIQIH IBADAH


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui, Agama Islam bertugas mendidik dhahir manusia, mensucikan jiwa manusia, dan membebaskan diri manusia dari hawa nafsu. Dengan ibadah yang tulus ikhlas dan aqidah yang murni sesuai kehendak Allah, insya Allah kita akan menjadi orang yang beruntung.
Dalam islam, Ibadah sangat luas cakupannya. Ada yang di sebut dengan Ibadah mahdoh dan Ghoer mahdoh. Namun, dalam Ibadah ini tak ada nilai pasti yang dapat kita terima jika kita tidak mengetahui akan makna, hakikat dan tujuan dari Ibadah itu sendiri. Seolah-olah kita semua adalah korban dari sejarah, yang hanya mengacu dan menyadurkan perso’alan ibadah hanya pada sebuah kisah/masa lampau. Yang umumnya di akui sebagai “simbolik” saja. Seperti halnya, kita melaksanakan sholat. Sekian banyak orang letika ditanya kenapa sholat, mereka akan menjawab hal itu adalah suatu kewajiban dan merupakan symbol orang yang beragama Islam saja.

Alloh dan Rosu-Nya sangat menganjurkan sekali kepada kita semua untuk menuntut Ilmu dalam hidup ini. Bahkan dikatakan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat hanyalah dengan Ilmu, dan Ilmu juga yang merupakan salah satu dari 3 amalan akan kita bawa sampai mati.

Pada kesempatan ini, penulis mencoba untuk menganalisa akan makna, hakikat dan tujuan dari Ibadah itu sendiri. Dan akan mencoba untuk menguak tabir misteri di balik perintah Ibadah yang telah diwajibkan kepada kita semua sebagai makhluq oleh Alloh SWT sebagai sang kholiq. Berdasarkan latar belakang dan maksud analisis,maka judul analisa ini adalah “ Makna, Hakikat dan Tujuan Ibadah”

1.2 Ruang Lingkup
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka pembahasan masalah dalam Makna, Hakikat dan Tujuan Ibadah  ini perlu diadakan pembatasan ruang lingkup penulisan pada bidang tertentu untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap masalah yang akan dibahas, yaitu sebagai berikut :
Ø  Makna Ibadah
Ø  Hakikat Ibadah
Ø  Tujuan Ibadah

Pembatasan ruang lingkup di atas akan di uraikan dalam bentuk poin-poin dan bagian-bagian dari berbagai macam aspek  Ibadah yang berbeda.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

1.3.1 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah :
a.       Mengetahui dan menganalisa akan makna, hakikat dan tujuan Ibadah.
b.      Merancang dan menerapkan kepahaman serta pengetahuan akan makna, hakikat dan tujuan Ibadah tersebut.

1.3.2 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini adalah :
a.       Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua kaum muslim yang membaca tulisan ini agar tahu dan mengerti akan makna, hakikat dan tujuan Ibadah.
b.      Menghasilkan suatu metode pemahaman yang tepat untuk menjadikan seorang cendekiawan muslim yang ungul dan berakhlakul karimah.
c.       Memberikan masukan dan informasi bagi penulis lain yang akan melakukan penulisan dengan topik yang sama.

1.4 Metodologi
Metode yang digunakan dalam menyusun penulisan makalah analisa ini adalah :
1.    Metode Pengumpulan Data
a.       Melakukan pengumpulan data untuk menganalisa secara teoritis akan objek kajian itu sendiri, dengan mengambil dari berbagai sumber referensi yang berkaitan dengan objek yang akan di analisa.
b.      Melakukan penganalisisan terhadap apapun yang terlibat dalam proses pengembangan objek kajian, baik itu secara langsung ataupun tidak.



2. Metode Analisa
Metode analisa yang digunakan berorientasi objek dengan pendekatan Mathiassen, yaitu :
a.       to the point
penganalisaan langsung kepada target objek kajian.
b.      stabilitas
upaya untuk menghasilkan sesuatu yang pasti dan tetap, tidak mudah berubah (labil).

3. Metode Perancangan
Menggunakan poin-poin fakta yang berdasarkan kepada Al-Qur’an, As-sunnah, Ijtihad dan nalar yang berdasarkan kepada rasional dan logika.


1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan Makna, Hakikat dan Tujuan Ibadah ini terdiri dari Lima Bab dengan urutan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang, ruang lingkup,tujuan dan manfaat penulisan, metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI
Dalam bab ini terdapat pembahasan mengenai tinjauan pustaka, mengenai definisi, pengertian, dan penjelasan dari teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas sebagai dasar pemecahan masalah.

BAB III ANALISIS IBADAH
Bab ini membahas analisa makna, hakikat, tujuan dan segala tabir rahasia lainnya yang perlu di kuak dalam Ibadah.

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menguraikan kesimpulan berdasarkan hasil analisis dan saran yang perlu diambil oleh kita semua, sebagai bahan pertimbangan dan saduran.

BAB II
LANDASAN TEORI
Memahami tauhid tanpa memahami konsep ibadah adalah mustahil. Oleh karena itu mengetahuinya adalah sebuah keniscayaan. Penulis syarah Al-Wajibat menjelaskan, “Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan.” (Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28).
Adapun secara istilah syari’at, para ulama memberikan beberapa definisi yang beraneka ragam. Di antara definisi terbaik dan terlengkap adalah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir). Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah” (Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6).
Dari keterangan di atas kita bisa membagi ibadah menjadi tiga; ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan. Dalam ibadah hati ada perkara-perkara yang hukumnya wajib, ada yang sunnah, ada yang mubah dan adapula yang makruh atau haram. Dalam ibadah lisan juga demikian, ada yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Begitu pula dalam ibadah anggota badan. Ada yang yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Sehingga apabila dijumlah ada 15 bagian. Demikian kurang lebih kandungan keterangan Ibnul Qayyim yang dinukil oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Fathul Majid.

Ta’abbud dan Muta’abbad bih
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitabnya yang sangat bagus berjudul Al Qaul Al Mufid menjelaskan bahwa istilah ibadah bisa dimaksudkan untuk menamai salah satu diantara dua perkara berikut :
  1. Ta’abbud. Penghinaan diri dan ketundukan kepada Allah ‘azza wa jalla. Hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Dzat yang memerintah dan melarang (Allah ta’ala).
  2. Muta’abbad bihi. Yaitu sarana yang digunakan dalam menyembah Allah. Inilah pengertian ibadah yang dimaksud dalam definisi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang tersembunyi (batin) maupun yang tampak (lahir)”.
Seperti contohnya sholat. Melaksanakan sholat disebut ibadah karena ia termasuk bentuk ta’abbud (menghinakan diri kepada Allah). Adapun segala gerakan dan bacaan yang terdapat di dalam rangkaian sholat itulah yang disebut muta’abbad bihi. Maka apabila disebutkan kita harus mengesakan Allah dalam beribadah itu artinya kita harus benar-benar menghamba kepada Allah saja dengan penuh perendahan diri yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Allah dengan melakukan tata cara ibadah yang disyari’atkan (Al-Qaul Al- Mufid, I/7).
Pengertian ibadah secara lengkap
Dengan penjelasan di atas maka ibadah bisa didefinisikan secara lengkap sebagai : ‘Perendahan diri kepada Allah karena faktor kecintaan dan pengagungan yaitu dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan oleh syari’at-Nya.’ (Syarh Tsalatsati Ushul, hal. 37).
Oleh sebab itu orang yang merendahkan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan keislaman secara fisik namun tidak disertai dengan unsur ruhani berupa rasa cinta kepada Allah dan pengagungan kepada-Nya tidak disebut sebagai hamba yang benar-benar beribadah kepada-Nya. Hal itu seperti halnya perilaku orang-orang munafiq yang secara lahir bersama umat Islam, mengucapkan syahadat dan melakukan rukun Islam yang lainnya akan tetapi hati mereka menyimpan kedengkian dan permusuhan terhadap ajaran Islam.
Macam-macam penghambaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa penghambaan ada tiga macam :
1.      Penghambaan umum,
2. Penghambaan khusus,
3. Penghambaan sangat khusus.
Penghambaan umum adalah penghambaan terhadap sifat rububiyah Allah (berkuasa, mencipta, mengatur, dsb). Penghambaan ini meliputi semua makhluk. Penghambaan ini disebut juga ‘ubudiyah kauniyah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi melainkan pasti akan datang menemui Ar Rahman sebagai hamba” (QS. Maryam [19] : 93). Sehingga orang-orang kafir pun termasuk hamba dalam kategori ini.
Sedangkan penghambaan khusus ialah penghambaan berupa ketaatan secara umum. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hamba-hamba Ar Rahman adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati” (QS. Al Furqan [25] : 63). Penghambaan ini meliputi semua orang yang beribadah kepada Allah dengan mengikuti syari’at-Nya.
Adapun penghambaan sangat khusus ialah penghambaan para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Hal itu sebagaimana yang Allah firmankan tentang Nuh ‘alaihissalam (yang artinya), “Sesungguhnya dia adalah seorang hamba yang pandai bersyukur” (QS. Al Israa’ [17] : 3). Allah juga berfirman tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Dan apabila kalian merasa ragu terhadap wahyu yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad)…” (QS. Al Baqarah [2] : 23). Begitu pula pujian Allah kepada para Rasul yang lain di dalam ayat-ayat yang lain. penghambaan jenis kedua dan ketiga ini bisa juga disebut ‘ubudiyah syar’iyah (Al-Qaul Al-Mufid I/16, Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 38-39).
Di antara ketiga macam penghambaan ini, maka yang terpuji hanyalah yang kedua dan ketiga. Karena pada penghambaan yang pertama manusia tidak melakukannya dengan sebab perbuatannya. Walaupun peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini (nikmat, musibah, dsb) yang menimpanya bisa juga menyebabkan pujian dari Allah kepadanya. Misalnya saja ketika seseorang memperoleh kelapangan maka dia pun bersyukur. Atau apabila dia tertimpa musibah maka dia bersabar. Adapun penghambaan yang kedua dan ketiga jelas terpuji karena ia terjadi berdasarkan hasil pilihan hamba dan perbuatannya, bukan karena suatu sebab yang berada di luar kekuasaannya semacam datangnya musibah dan lain sebagainya (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 38-39).
















BAB III
ANALISIS IBADAH
Seperti yang telah dikatakan pada BAB I pendahuluan, penulis akan menguraikan dalam bentuk poin dari berbagai macam Ibadah yang berbeda. Analisis ini mengenai makna, hakikat dan tujuan serta tabir rahasia yang perlu di ungkap dalam Ibadah itu sendiri.
1.   SYAHADAT
Kalimah Allah adalah yang paling tinggi. Islam sebagai dien mempunyai konsep yang jelas, lengkap dan dapat dibuktikan kebenarannya. Sedangkan konsep atau sistem selain Islam adalah buatan manusia yang tidak lengkap, tidak jelas dan bersifat berubah atau sementara. Konsep Islam dilandasi oleh syahadatain, sedangkan selain Islam menjadikan pemikiran jahiliyah dasarnya. Syahadat adalah kalimah yang tinggi yang dijadikan sebagai kalimah tauhid dan kalimah taqwa. Gambaran kalimah tauhid ini di dalam Al-Qur’an adalah kalimah toyyibah yaitu kalimah yang teguh dan kuat. Pemikiran jahiliyah sebagai landasan dari konsep selain Islam merupakan kalimat syirik yang menjadi saingan konsep dan sistem Islam. Konsep jahili berdasarkan semangat jahiliyah seperti materialisme, kapitalisme, komunisme dan isme lainnya. Isme-isme ini tidak mempunyai kekuatan sebagai kalimah khobitsah yang lemah dan tidak kuat.

Ø  MAKNA SYAHADAT
Dua kalimah syahadah merupakan inti dari dienul Islam. Dasar utamanya adalah wahyu yang dalam bentuk kitab dan sunnah. Islam mengandung ketinggian nilai yang tidak dapat dibandingkan dengan konsep, sistem dan agama lainnya.Pemikiran-pemikiran jahiliyah adalah inti daripada konsep dan pandangan jahiliyah. Termasuk dalam kelompok ini adalah segala bentuk isme (faham) misalnya materialisme, komunisme, kapitalisme, nasionalisme, humanisme, idealisme dan berbagai bentuk ideologi samada bersifat lokal maupun bersifat internasional. Dasar utamanya adalah ro’yun (akal) saja.
Konsep pemikiran dan analisa :
o   Q.3:18, pernyataan Allah tentang keesaanNya menunjukkan bahwa ini merupakan inti dari seluruh ajaran Islam.
o   Dasar Islam adalah wahyu dan bukan ra’yu.
o   perkataan Rasulullah sebagai salah satu sumber nilai Islam bukanlah merupakan hawa nafsu melainkan juga wahyu.
o   Hadits. Sabda Rasulullah kepada Abdullah bin Amru bin Ash : “Tulislah, demi Allah yang jiwaku berada ditanganNya. Tidak keluar dari lidahku ini kecuali kebenaran”.
o   Q.10:36, 53:23, orang-orang kafir mengikuti isme-isme yang berdasarkan dzan dan hawa nafsu manusia.
o   Q.6:116, konsep demokrasi adalah hawa nafsu manusia

Kalimat laa ilaha illa Allah terdiri dari 3 jenis huruf (alif, lam dan ha) serta 4 kata (Laa, ilaha, illa, Allah) tetapi mengandung pengertian yang mencakup seluruh ajaran Islam.  Keberadaan kata ini adalah Wala terhadap Allah dan Bara terhadap selain Allah.  Bagi muslim sikap ini merupakan sikap hidup yang inti dan warisan para nabi.  Penyimpangan dari sikap ini tergolong dosa besar yang tidak diampuni (syirik).  Dengan sikap Wala dan Bara seorang mu’min akan selalu mengarahkan dirinya kepada Allah di setiap perbuatannya.  Untuk memahami wala dan bara ini kita perlu mengkaji unsur-unsur kalimatnya, seperti laa, ilaha, illa dan sebagainya.  Kalimah Muhammad Rasulullah merupakan bahagian kedua dari syahadatain.  Didalamnya terkandung suatu pengakuan tentang kerasulan Muhammad SAW.  Artinya di dalam rangka mengamalkan Wala dan Bara yang terkandung di dalam Laa ilaha illa Allah maka mesti mengikuti petunjuk dan jejak langkah Muhammad SAW.  Beliau mendapatkan pengesahan Ilahi untuk menunjukkan kebenaran dan melaksanakannya.  Maka beliau merupakan teladan pelaksanaan Wala dan Bara.
Ø  HAKIKAT SYAHADAT
1.      Laa Ilaha Illa Allah.
o   Laa  (tidak ada – penolakan)
o   Kata penolakan yang mengandung pengertian menolak semua unsur yang ada di belakang kata tersebut.
o   Ilaha  (sembahan – yang ditolak)
o   Sembahan iaitu kata yang ditolak oleh laa tadi, iaitu segala bentuk sembahan yang bathil (lihat A3).  Dua kata ini mengandung pengertian bara (berlepas diri).
o   Illa  (kecuali - peneguhan)
o   Kata pengecualian yang berarti meneguhkan dan menguatkan kata di belakangnya sebagai satu-satunya yang tidak ditolak.
o   Allah  (yang diteguhkan atau yang dikecualikan)
o   Kata yang dikecualikan oleh illa.  Lafzul jalalah (Allah) sebagai yang dikecualikan.
Dalil :
·          Q.16:36, inti dakwah para Nabi adalah mengingkari sembahan selain Allah dan hanya menerima Allah sahaja sebagai satu-satunya sembahan.
·          Q.4:48, 4:116, bahaya menyimpang dari Tauhid.  Syirik merupakan dosa yang tidak diampuni.
·          Q.47:19, dosa-dosa manusia diakibatkan kelalaian memahami makna tauhid.
·          Q.7:59,65,73, beberapa contoh dakwah para nabi yang memerintahkan pengabdian kepada Allah dan menolak ilah-ilah yang lain.
·          Hadits.  Ikatan yang paling kuat dari pada iman adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.
·          Hadits.  Barang-siapa yang mencintai karena Allah,membenci karena Allah, memberi karena Allah dan melarang karena Allah, maka ia telah mencapai kesempurnaan Iman.

2.      Bara  (pembebasan).
Merupakan hasil kalimat Laa ilaha illa yang artinya membebaskan diri daripada segala bentuk sembahan.  Pembebasan ini berarti : mengingkari, memisahkan diri, membenci, memusuhi dan memerangi.  Keempat perkara ini ditunjukkan pada segala ilah selain Allah samada berupa sistem, konsep maupun pelaksana.
Dalil :
·          Q.60:4, contoh sikap bara yang diperlihatkan Nabi Ibrahim AS dan pengikutnya terhadap kaumnya.  Mengandung unsur mengingkari, memisahkan diri, membenci dan memusuhi.
·          Q.9:1, sikap bara berarti melepaskan diri seperti yang dilakukan oleh Rasul terhadap orang-orang kafir dan musyrik.
·          Q.47:7, sikap bara adalah membenci kekufuran, kefasikan dan kedurhakaan.
·          Q.58:22, sikap bara dapat diartikan juga memerangi dan memusuhi meskipun terhadap familinya.  Contohnya Abu Ubaidah membunuh ayahnya, Umar bin Khattab membunuh bapa saudaranya, sedangkan Abu Bakar hampir membunuh putranya yang masih musyrik.  Semua ini berlangsung di medan perang.
·          Q.26:77, Nabi Ibrahim menyatakan permusuhan terhadap berhala-berhala sembahan kaumnya.

3.      Hadam  (penghancuran).
Sikap bara dengan segala akibatnya melahirkan upaya menghancurkan segala bentuk pengabdian terhadap tandingan-tandingan maupun sekutu-sekutu selain Allah, apakah terhadap diri, keluarga maupun masyarakat.
Dalil :
·          Q.21:57-58, Nabi Ibrahim berupaya menghancurkan berhala-berhala yang membodohi masyarakatnya pada masa itu.  Cara ini sesuai pada masa itu tetapi pada masa Rasulullah, Rasul SAW menghancurkan akidah berhala dan fikrah yang menyimpang terlebih dahulu.  Setelah fathu Mekkah, kemudian 360 berhala di sekitar Ka’bah dihancurkan oleh Rasul.

4.      Al Wala  (loyaliti).
Kalimat Illa Allah berarti pengukuhan terhadap wilayatulLlah (kepemimpinan Allah).  Artinya : selalu mentaati, selalu mendekatkan diri, mencintai sepenuh hati, dan membela, mendukung dan menolong.  Semua ini ditujukan kepada Allah dan segala yang diizinkan Allah seperti Rasul dan orang yang beriman.
Dalil :
·          Q.5:7, 2:285, Iman terhadap kalimat suci ini berarti bersedia mendengar dan taat.
·          Q.10:61,62, jaminan Allah terhadap yang menjadi wali (kekasih) Allah karena selalu dekat kepada Nya.
·          Q.2:165, wala kepada Allah menjadikan Allah sangat dicintai, lihat 9:24.
·          Q.61:14, sebagai bukti dari wala adalah selalu siap mendukung atau menolong dien Allah.


5.      Al Bina  (membangun).
Sikap wala beserta segala akibatnya merupakan sikap mukmin membangun hubungan yang kuat dengan Allah, Rasul dan orang-orang mukmin.  Juga berarti membangun sistem dan aktiviti Islam yang menyeluruh pada diri, keluarga, maupun masyarakat.
Dalil :
·          Q.22:41, ciri mukmin adalah senantiasa menegakkan agama Allah.
·          Q.24:55, posisi kekhilafahan Allah peruntukkan bagi manusia yang membangun dienullah.
·          Q.22:78, jihad di jalan Allah dengan sebenarnya jihad adalah upaya yang tepat membangun dienullah.

6.      Ikhlas.
Keikhlasan iaitu pengabdian yang murni hanya dapat dicapai dengan sikap bara terhadap selain Allah dan memberikan wala sepenuhnya kepada Allah.
Dalil :
·          Q.98:5, mukmin diperintah berlaku ikhlas dalam melakukan ibadah.
·          Q.39:11,14, sikap ikhlas adalah inti ajaran Islam dan pengertian dari Laa ilaha illa Allah.

7.      Muhammad Rasulullah.
            Konsep Wala dan Bara ditentukan dalam bentuk :
a.       Allah sebagai sumber.
Allah sebagai sumber wala, dimana loyaliti mutlak hanya milik Allah dan loyaliti lainnya mesti dengan izin Allah.
b.      Rasul sebagai cara (kayfiyat).
Pelaksanaan Wala terhadap Allah dan Bara kepada selain Allah mengikuti cara Rasul.
c.       Mukmin sebagai pelaksana.
Pelaksana Wala dan Bara adalah orang mukmin yang telah diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasulullah.

·          Dalam pelasaksanaan Bara, Rasulullah memisahkan manusia atas muslim dan kafir.  Hizbullah dengan Hizbus Syaithan.  Orang-orang mukmin adalah mereka yang mengimani Laa ilaha illa Allah dan Muhammad Rasulullah sedangkan orang kafir adalah mereka yang mengingkari salah satu dari dua kalimah syahadat atau kedua-duanya.
·          Orang-orang beriman wajib mengajak orang kafir kepada jalan Islam dengan dakwah secara hikmah dan pengajaran yang baik.  Apabila mereka menolak, kemudian menghalangi jalan dakwah maka mereka boleh diperangi sampai mereka mengakui ketinggian kalimah Allah.
·          Hubungan kekeluargaan seperti ayah, ibu, anak tetap diakui selama bukan dalam kemusyrikan atau maksiat terhadap Allah.
·          Dengan demikian pelaksanaan Wala dan Bara telah ditentukan caranya.  Kita hanya mengikut apa yang telah dicontohkan Rasulullah SAW.
Dalil :
·          Q.5:55-56, Allah, Rasul dan orang-orang mukmin adalah wali orang yang beriman.
·          Q.4:59, ketaatan diberikan hanya kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri dari kalangan mukmin.
·          Q.5:56, orang-orang yang memberikan wala kepada Allah, Rasul dan orang-orang mukmin adalah Hizbullah (golongan Allah), lihat pula 58:22.  Selain golongan ini adalah Hizbus Syaithan.
·          Q.60:7-9, kebolehan bergaul dengan orang kafir dengan batas-batas tertentu.  Asbabun Nuzul ayat ini berkaitan dengan Asma binti Abu Bakar yang tidak mengizinkan ibunya masuk rumahnya sebelum mendapat izin dari Rasulullah, lihat pula 31:15.

Ø  TUJUAN SYAHADAT
Syahadat merupakan gerbang pertama untuk masuk Islam.

2.    SHOLAT

Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan.

Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia meruntuhkan agama (Islam).
 
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat – shalat sunah.
Untuk membatasi bahasan penulisan dalam permasalahan ini, maka penulis hanya membahas tentang shalat wajib kaitannya dengan kehidupan sehari – hari.

Ø  MAKNA SHOLAT
Shalat atau sering ditulis Salat (ejaan KBBI). Sholat, merujuk kepada salah satu ritual ibadat pemeluk agama Islam. Secara bahasa shalat berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti : do'a. Sedangkan menurut istilah shalat bermakna serangkaian kegiatan ibadah khusus atau tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.Praktik shalat harus sesuai dengan segala petunjuk tata cara Rasulullah SAW sebagai figur pengejawantah perintah Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, Shalatlah kalian sesuai dengan apayang kalian lihat aku mempraktikkannya. (HR Bukhari-Muslim).

Dalil – Dalil Tentang Kewajiban Shalat

Al-Baqarah, 43

وَاَقِيْمُوْ الصَّلَىةَ وَآتُوْ الزَّكَوةَوَارْكَعُوْامَعَ الرَّاكِعِيْنَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang – orang yang ruku

Al-Baqarah 110

وَاَقِيْمُوْ الصَّلَوْةَ وَآتُوْالزَّكَوةَ وَمَاتُقَدِّمُوْا لاَِنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدُاللهِط اِنَّ اللهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْر
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan apa – apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan dapat pahalanya pada sisi Allah sesungguhnya Allah maha melihat apa – apa yang kamu kerjakan

Al –Ankabut : 45

وَاَقِيْمِ الصَّلَوةَ اِنَّ الصَّلَوةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرَ
Kerjakanlah shalat sesungguhnya shalat itu bisa mencegah perbuatan keji dan munkar.

An-Nuur: 56

وَاَقِيْمُوْ الصَّلاَةَ وَآتُوْ الزَّكَوةَ وَاَطِيْعُوْ االرَّسُوْلَ لَعَلَكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Dan kerjakanlah shalat, berikanlah zakat, dan taat kepada Rasul, agar supaya kalian semua diberi rahmat

Dari dalil – dalil Al-Qur'an di atas tidak ada kata – kata perintah shalat dengan perkataan “laksanakanlah” tetapi semuanya dengan perkataan “dirikanlah”.

Dari unsur kata – kata melaksanakan itu tidak mengandung unsur batiniah sehingga banyak mereka yang Islam dan melaksanakan shalat tetapi mereka masih berbuat keji dan munkar. Sementara kata mendirikan selain mengandung unsur lahir juga mengandung unsur batiniah sehingga apabila shalat telah mereka dirikan, maka mereka tidak akan berbuat jahat

Ø  HAKIKAT SHOLAT
a.       Shalat Merupakan Syarat Menjadi Takwa
Taqwa merupakan hal yang penting dalam Islam karena dapat menentukan amal / tingkah laku manusia, orang – orang yang betul – betul taqwa tidak mungkin melaksanakan perbuatan keji dan munkar, dan sebaliknya
Salah satu persyaratan orang – orang yang betul - betul taqwa ialah diantaranya mendirikan shalat sebagimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah
b.      Shalat Merupakan Benteng Kemaksiatan,
Shalat merupakan benteng kemaksiatan artinya bahwa shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Semakin baik mutu shalat seseorang maka semakin efektiflah benteng kemampuan untuk memelihara dirinya dari perbuatan makasiat
Shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar apabila dilaksanakan dengan khusu tidak akan ditemukan mereka yang melakukan shalat dengan khusu berbuat zina. Maksiat, merampok dan sebagainya. Merampok dan sebagainya tetapi sebaliknya kalau ada yang melakukan shalat tetapi tetap berbuat maksiat, tentu kekhusuan shalatnya perlu dipertanyakan. Hal ini diterangkan dalam Al-Qur'an surat Al-Ankabut: 45
c.       Shalat Mendidik Perbuatan Baik Dan Jujur,
Dengan mendirikan shalat, maka banyak hal yang didapat, shalat akan mendidik perbuatan baik apabila dilaksanakan dengan khusus. Banyak yang celaka bagi orang – orang yang shalat yaitu mereka yang lalai shalat
selain mendidik perbuatan baik juga dapat mendidik perbuatan jujur dan tertib. Mereka yang mendirikan tidak mungkin meninggalkan syarat dan rukunnya, karena apabila salah satu syarat dan rukunnya tidak dipenuhi maka shlatnya tidak sah (batal)
d.      Shalat Akan membangun etos kerja,
Sebagaimana keterangan – keterangan di atas bahwa pada intinya shalat merupakan penentu apakah orang – orang itu baik atau buruk, baik dalam perbuatan sehari – hari maupun ditempat mereka bekerja
Apabila mendirikan shalat dengan khusu maka hal ini akan mempengaruhi terhadap etos kerja mereka tidak akan melakukan korupsi atau tidak jujur dalam melaksanakan tugas
Ø  TUJUAN SHOLAT
a.       Sebagai tanda tunduk dan patuh kita terhadap Alloh SWT.
b.      Untuk mendapatkan ridho Alloh SWT.
c.       Mencegah dari fakhsa’ dan munkar
Ø  RAHASIA DIBALIK SHOLAT
a.       Gerakan sholat sangat ideal sebagai gerakan senam yang sangat membantu dan berperan dalam menstabilkan kesehatan (Ahli pengobatan Feng Shui ).
b.      Ketenangan dan kenyamanan seringkali kita temui di dalmnya.
3.    ZAKAT
Zakat adalah sistem perekonomian Islam yang telah mengkokohkan umat Islam selama ribuan tahun lamanya. Zakat tak sedikit telah mendapatkan acungan jempol dari pakar-pakar ekonomi non-muslim yang sangat mengagumi dan salut dengan system perzakatan ini.
Ø  MAKNA ZAKAT
Secara Bahasa (lughat), berarti : tumbuh; berkembang dan berkah (HR. At-Tirmidzi) atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan (QS. At-Taubah : 10). Seorang yang membayar zakat karena keimanannya nicaya akan memperoleh kebaikan yang banyak. Allah SWT berfirman : "Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.". (QS : At-Taubah : 103).
Sedangkan menurut terminologi syari'ah (istilah syara'), zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dalam waktu tertentu.
Sementara pengertian infaq adalah mengeluarkan harta yang mencakup zakat dan non zakat. Infaq ada yang wajib dan ada yang sunnah. Infaq wajib diantaranya zakat, kafarat, nadzar, dll. Infak sunnah diantara nya, infak kepada fakir miskin sesama muslim, infak bencana alam, infak kemanusiaan, dll. Terkait dengan infak ini Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim ada malaikat yang senantiasa berdo'a setiap pagi dan sore : "Ya Allah SWT berilah orang yang berinfak, gantinya. Dan berkata yang lain : "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak, kehancuran".
Adapun Shadaqoh dapat bermakna infak, zakat dan kabaikan non materi. Dalam hadits Rasulullah SAW memberi jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu terhadap orang kaya yang banyak bershadaqoh dengan hartanya, beliau bersabda : "Setiap tasbih adalah shadaqoh, setiap takbir shadaqoh, setiap tahmid shadaqoh, setiap tahlil shadaqoh, amar ma'ruf shadaqoh, nahi munkar shadaqoh dan menyalurkan syahwatnya pada istri shadaqoh". Dan shadaqoh adalah ungkapan kejujuran ( shiddiq ) iman seseorang.
Selain itu, ada istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah.
Ø  HAKIKAT ZAKAT
a.    Menghindari kesenjangan sosial antara aghniya dan dhu'afa.
b.   Pilar amal jama'i antara aghniya dengan para mujahid dan da'i yang berjuang dan berda'wah dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT.
c.    Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk
d.   Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat.
e.    Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan
f.    Untuk pengembangan potensi ummat
g.   Dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam
h.   Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.
Ø  TUJUAN ZAKAT
Selain itu juga, zakat merupakan ibadah yang memiliki nilai dimensi ganda, trasendental dan horizontal. Oleh sebab itu zakat memiliki banyak arti dalam kehidupan ummat manusia, terutama Islam. Zakat memiliki banyak hikmah, baik yang berkaitan dengan Allah SWT maupun hubungan sosial kemasyarakatan di antara manusia, antara lain
§  Menolong, membantu, membina dan membangun kaum dhuafa yang lemah papa dengan materi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Dengan kondisi tersebut mereka akan mampu melaksanakan kewajibannya terhadap Allah SWT
§  Memberantas penyakit iri hati, rasa benci dan dengki dari diri orang-orang di sekitarnya berkehidupan cukup, apalagi mewah. Sedang ia sendiri tak memiliki apa-apa dan tidak ada uluran tangan dari mereka (orang kaya) kepadanya.
§  Menjadi unsur penting dalam mewujudakan keseimbanagn dalam distribusi harta (sosial distribution), dan keseimbangan tanggungjawab individu dalam masyarakat
§  Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri atas prinsip-prinsip: Ummatn Wahidan (umat yang satu), Musawah (persamaan derajat, dan dan kewajiban), Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) dan Takaful Ijti'ma (tanggung jawab bersama)
§  Dapat mensucikan diri (pribadi) dari kotoran dosa, emurnikan jiwa (menumbuhkan akhlaq mulia menjadi murah hati, peka terhadap rasa kemanusiaan) dan mengikis sifat bakhil (kikir) serta serakah. Dengan begitu akhirnya suasana ketenangan bathin karena terbebas dari tuntutan Allah SWT dan kewajiban kemasyarakatan, akan selalu melingkupi hati.
§  Zakat adalah ibadah maaliyah yang mempunyai dimensi dan fungsi sosial ekonomi atau pemerataan karunia Allah SWT dan juga merupakan perwujudan solidaritas sosial, pernyataan rasa kemanusian dan keadilan, pembuktian persaudaraan Islam, pengikat persatuan ummat dan bangsa, sebagai pengikat bathin antara golongan kaya dengan yang miskin dan sebagai penimbun jurang yang menjadi pemisah antara golongan yang kuat dengan yang lemah
§  Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera dimana hubungan seseorang dengan yang lainnya menjadi rukun, damai dan harmonis yang akhirnya dapat menciptakan situasi yang tentram, aman lahir bathin. Dalam masyarakat seperti itu takkan ada lagi kekhawatiran akan hidupnya kembali bahaya komunisme 9atheis) dan paham atau ajaran yang sesat dan menyesatkan. Sebab dengan dimensi dan fungsi ganda zakat, persoalan yang dihadapi kapitalisme dan sosialisme dengan sendirinya sudah terjawab. Akhirnya sesuai dengan janji Allah SWT, akan terciptalah sebuah masyarakat yang baldatun thoyibun wa Rabbun Ghafur.
4.    PUASA

Bulan Ramadhan biasa disebut oleh banyak orang dengan bulan puasa. Bagi orang yang diberikan anugerah oleh Allah Swt, untuk dapat bertemu dengan bulan puasa sepatutnya ia bersyukur, mengingat betapa banyak kebaikan dan keutamaan yang Allah Swt turunkan pada bulan ini kepada umat Islam. Rasa syukur ini perlu diwujudkan dengan cara mempersiapkan fisik dan mental kita untuk menghadapi bulan yang penuh rahmat ini. Persiapan fisik diantaranya adalah dengan cara menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh kita agar dalam menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh kita merasa siap dan kuat. Adapun kesiapan mental tidak kalah pentingnya dari kesiapan fisik tersebut, di mana kesiapan mental berarti jiwa kita senantiasa berharap bahwa setiap kesulitan yang dihadapi selama berpuasa bukan memperlemah niat untuk terus berpuasa, namun kesulitan ini justeru akan memperbesar pahala ibadah puasa yang kita lakukan.
Sebelum kita mengupas lebih jauh apa dan bagaimana puasa beserta hal-hal yang terkait dengannya, ada baiknya kalau kita melihat terlebih dahulu, pengertian atau makna puasa. Hal ini penting agar kita mengenal makna puasa sebelum kita melakukan ibadah ini. Tak kenal maka tak sayang orang pernah bilang, demikian pun halnya dengan puasa, jika kita tak mengenal makna puasa, maka jangan harapkan kita akan merasa nikmat melaksanakan ibadah ini.

Ø  MAKNA PUASA
Puasa (bahasa Arab: صوم) secara bahasanya boleh diertikan sebagai menahan diri. Daripada segi istilah syara' bermaksud menahan diri daripada makan atau minum untuk suatu jangkamasa tertentu.
Puasa ertinya menahan diri daripada makan dan minum serta segala perbuatan yang boleh membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar sehinggalah terbenam matahari. Umat Islam juga dikehendaki menahan diri daripada menipu, mengeluarkan kata-kata buruk atau sia-sia, serta bertengkar atau bergaduh. Ini kerana puasa merupakan medan latihan memupuk kesabaran, kejujuran serta bertolak ansur sesama sendiri. Secara tidak langsung amalan puasa akan menyuburkan sikap murni di dalam diri pelakunya.
Ø  HAKIKAT PUASA
Puasa adalah rukunIslam yang ke-4. Puasa, adalah rukun Islam yang wajib di laksanakan oleh seorang muslin yang telah memenuhi syarat. Puasa memiliki pengaruh dan hikmah sangat penting bagi yang melakukannya, diantara pengaruh dan hikmah itu adalah :
a.             Menahan lapar dan haus, hal ini mengajak kepada kita bagaimana seandainya kita menjadi orang yang selalu kelaparan dan kehausan yang begitu sangat menderita jika kita ada pada posisi mereka, dari sini pula akan menumbuhkan sikap rasa bersyukur kita kepada Allos SWT.
b.             Tetapi kesehatan, berbagai penelitian telah menunjukan keajaiban puasa ini. Bahwa denganpuasa kesehatan sangatlah terjaga.
Ø  TUJUAN PUASA
a.             Menjadikan kita hamba yang bertakwa.
b.            Menjadikan kita hamba yang selalu bersyukur akan karunia Alloh SWT.
c.             Membersihkan kita dari kekenyangan akan segala dosa yang telah kita lakukan.
5.    HAJI
Haji adalah rukun (tiang agama) Islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan umat Islam sedunia yang mampu (secara material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijjah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.
Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 Dzulhijjah ketika umat Islam bermalam di Mina, wukuf (berdiam diri) di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, bermalam di Muzdalifah, dan berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10, 11, dan 12 Dzulhijjah. Masyarakat Indonesia lazim juga menyebut hari raya Idul Adha sebagai Hari Raya Haji karena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini.
Ø  MAKNA HAJI
Secara lughawi (bahasa), haji berarti menyengaja atau menuju dan mengunjungi. Menurut etimologi bahasa Arab, kata haji mempunyai arti qashd, yakni tujuan, maksud, dan menyengaja. Menurut istilah syara’, haji ialah menuju ke Baitullah dan tempat-tempat tertentu untuk melaksanakan amalan-amalan ibadah tertentu pula. Yang dimaksud dengan tempat-tempat tertentu dalam definisi di atas, selain Ka’bah dan Mas’a(tempat sa’i), juga Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Yang dimaksud dengan waktu tertentu ialah bulan-bulan haji yang dimulai dari Syawal sampai sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Adapun amal ibadah tertentu ialah thawaf, sa’i, wukuf, mabit di Muzdalifah, melontar jumrah, mabit di Mina, dan lain-lain.


Ø  HAKIKAT HAJI
Ibadah Haji merupakan salah satu dari pilar Islam yang lima. Sekalipun demikian, ibadah ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang “mampu” menjalankannya.
Al-Qur’an memerintahkan:“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke baitullah bagi orang-orang yang mampu menjalankannya…” (Qs. 3: 97).
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsiri kalimat “…man isthatha’a ilaihi sabilan…” (bagi orang-orang yang mampu menjalankannya). Surat Ali Imran ayat 97 ini mengundang perdebatan yang terus mengalir hingga kini. Salah satu penyebabnya karena pelaksanaan ibadah Haji saat ini sudah sangat kompleks melibatkan birokrasi negara, kesiapan bekal materi, kesehatan jasmani-rohani, dan faktor letak geografis.
Mungkin tidak menjadi masalah pelaksanaan ibadah Haji bagi orang-orang di sekitar Makkah pada masa sekarang atau pada masa Nabi Saw (abad 6 M). Namun di zaman sekarang, menjadi problem yang cukup rumit, apalagi bagi umat Islam yang menetap di beberapa negara yang berjauhan dengan tanah suci. Kalimat dalam surat Ali Imran ayat 97 mengundang perdebatan tafsir ketika para pelaku Haji berasal dari negara lain, yang sangat jauh dari Makkah. Problem birokrasi, biaya perjalanan, kondisi kesehatan badan dan psikis, kemudian menjadi bagian dari pemahaman utuh terhadap kalimat “man isthatha’a ilaihi sabilan…”
Lebih jauh, makna kalimat tersebut juga cukup relevan dengan konteks sosial di Indonesia. Selama ini, umat Islam di Indonesia memang masih mengemban “PR” yang cukup berat untuk memaknai kembali doktrin ibadah Haji dalam konteks sosial. Sebagai doktrin agama, Ibadah Haji memiliki relevansi dengan konteks personal dan sosial sekaligus. Agama Islam bukan aliran “kebatinan” atau “mistisisme” yang hanya mengedepankan aspek hubungan personal antara para pemeluknya dengan Tuhan. Negara Miskin Justru Meningkat Jemaah Hajinya.
Dalam kontek Ibadah Haji, kaum Muslimin di seluruh pelosok dunia diajak berpartisipasi dalam “Pertunjukan Haji” sebagai event maha besar ini. Menurut Ali Syari’ati (1983), Ibadah Haji mensyaratkan egalitanianisme. Tidak ada diskriminasi ras, jenis kelamin, atau bahkan status sosial. Semuanya adalah satu dan yang satu itu untuk semuanya. Saya menangkap maksud pemikiran Ali Syari’ati sebagai bagian dari makna Haji dalam konteks sosial. Lebih jauh, pemikiran Ali Syari’ati memiliki relevansi dengan makna tersirat dalam kalimat “man isthatha’a ilaihi sabilan…” Atas dasar inilah, saya kemudian meng-anggap konsep Ibadah Haji, dalam perspektif maqashid asy-syari’ah, tidak hanya bermakna personal, tetapi juga memiliki muatan sosial yang tinggi.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, makna Ibadah Haji harus diberi ruang seluas-luasnya untuk mendefinisikan kembali atas dasar konteks sosio-kultural yang ada. Dengan tetap mempertahankan kaidah-kaidah fundamental dalam Ibadah Haji, prinsip maqashid asy-syari’ah harus diselaraskan dengan konteks sosio-kultural Indonesia.
Dalam perspektif sosiologis, mapsyarakat di Indonesia masih hidup terbelakang. Kehidupan ekonomi masih jauh dari sejahtera. Kemiskinan adalah lumrah di sini. Menurut data BPS 2005-2008, jumlah angka kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun ternyata terus mengalami peningkatan. Warga miskin di Indonesia pada tahun 2005 sebesar 35,10 juta jiwa, di tahun 2006, mencapai 39,05 juta jiwa, di 2007 mencapai 37,2 juta jiwa. Khusus pada tahun ini (2008), angka kemiskinan malah melonjak, mencapai 41,1 juta jiwa.
Di sisi lain, jumlah Jemaah Haji di Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Padahal, Ongkos Naik Haji (ONH) selalu mengalami peningkatan. ONH tahun 2007 sekitar 26-28 juta rupiah, tahun ini mencapai 29 juta rupiah. Data kemiskinan di Indonesia terus mengalami peningkatan, sementara jumlah Jemaah Haji terus meningkat pula. Merujuk data-data BPS di atas, kita tidak mendapati titik temu yang logis antara statistik kemiskinan dan peningkatan jumlah Jemaah Haji Indonesia. Mengapa di negara yang miskin justru terus meningkat jumlah Jemaah Hajinya?
Haji Kontekstual
Fenomena jumlah warga miskin dan peningkatan jumlah Jemaah Haji di Indonesia merupakan sebuah indikasi nyata bahwa doktrin Islam yang satu ini baru dipahami sebatas hubungan personal antara hamba dan Tuhannya. Jika doktrin Islam ini dipahami secara utuh dalam konteks personal dan sosial sekaligus, masalah keterbelakangan, kemiskinan, atau bahkan pengangguran, tidak akan terus meningkat.
Dalam hal ini, saya menganggap perlu mendefinisikan kembali tafsir “man isthatha’a ilaihi sabilan…”. Sebab, selama ini umat Islam masih menganggap ayat ini sebatas konteks personal. Jika seseorang punya biaya cukup, sehat jasmani dan rohani, maka ia sudah masuk dalam kategori orang-orang yang mampu menunaikan ibadah Haji. Padahal, permasalahan ini ternyata jauh lebih kompleks.
Asghar Ali Engineer (1999) berpendapat bahwa agama (Islam) menjadi sistem pengertian, sistem simbol dan ibadah yang menyediakan sense of identity bagi penganutnya untuk hidup di dunia yang serba kompleks ini. Dengan merujuk pada definisi agama (Islam) versi Asghar Ali Engineer ini, saya ingin menggarisbawahi bahwa umat Islam memiliki identitas yang satu. Ia bagaikan tubuh yang satu. Seperti isyarat Nabi Saw, umat Islam bagaikan satu tubuh yang apabila sakit salah satu anggota tubuhnya, maka seluruh tubuh akan merasakan dampaknya.
Jika melihat fakta kemiskinan yang terus meluas, maka setiap umat Islam wajib tanggap terhadap fenomena ini. Sebab, mereka yang hidup dalam kemiskinan tidak lain adalah saudara sendiri. Mulai saat ini, umat Islam perlu mengalihkan orientasi ibadah haji, dari “haji personal” (ke tanah suci) menuju “haji sosial” (kontekstual). Caranya ialah dengan membantu proses pengentasan kemiskinan di Indonesia yang terus meningkat. Pengertian “man isthatha’a ilaihi sabilan…” juga mendukung kenyataan ini bahwa tidak diwajibkan bagi umat Islam berkunjung ke tanah suci manakala belum mampu mengentaskan kemiskinan saudara-saudarannya.
Ø  TUJUAN HAJI 
Haji merupakan perlakuan ibadah umat islam yang mempunyai banyak simbolik yang dikemukakan kepada manusia dalam bentuk penonjolan diri, demostrasi atau perisytiharan, bukan menuntut sesuatu yang bersifat kebendaaan atau keduniaan, tetapi demontrasi untuk menyatakan tauhid dengan slogan dan laungan kalimah suci, Allahhu Akhbar, Allah Maha Besar, berulang-ulang kali dengan keyakinan dan ketaqwaan, pengakuan yang jelas dan tegas sekalipun kufur atau musyrikin tidak menyenanginya.
Pengisytiharan tauhid yang jelas dan laungan yang tegas dilakukan serentak menyebut nama Allah, "Labayk Allah Humma Labbyk, Labbaykka La Syarikalak Labbayk, Innal Hamda Wa al- Ni'mata Laka wa al-Mulk, La Syarikalak", dilaungkan bukan kerana sesuatu kekurangan, tetapi penyataan sesuatu ibadah dalam bentuk demontrasi menentang syirik, kezaliman dan kesesatan yang dilakukan oleh manusia yang tidak mentauhidkan Allah.
Sikap dan pendirian yang tegas dalam perkara 'ubudiah yang menjadi ajaran para anbia' sejak zaman-berzaman perlu diisytihar dengan jelas supaya sekali-kali jangan terlibat dengan syirik atau tanghut.
Sebaliknya hendaklah mengabdikan diri semata-mata kerana Allah - diri, pemikiran, fizikal, harta benda dan nawaitunya hanya semata untuk Allah. Segala bentuk kesesatan, syirik atau penyembahan system yang menuju ke arah taghut wajib dijauhi.
Islam tidak menuntut sikap bertindak balas terhadap pihak yang memsongkan akidah, tetapi bersikap Islam, kebaikan dan keamanan. Bagaimanapun, jika mereka sering dan terus berusaha menyelewengkan manusia daripada mentauhidkan Allah maka diwujudkan suatu amalan ibadah dalam bentuk demonstrasi terang-terangan bagi melawan kerja-kerja mereka yang sesat sekalipun orang-orang musyrikin, golongan kuffar dan munafiqun tidak menyenanginya.
Ø  HAL UNIK DALAM HAJI
Thawaf asalah salahsatu yang ada dalam pelaksanaan haji, para ahli menganalogikan thawaf ini dengan tata surya yang selalu berputar pada porosnya. Hal itu sangat sama persis dengan orang-orang ketika melakukan thawaf.
6.    THOHAROH
Agama dan ajaran Islam menaruh perhatian amat tinggi pada kebersihan, baik lahiriah fisik maupun batiniyah psikis. Kebersihan lahiriyah itu tidak dapat dipisahkan dengan kebersihan batiniyah. Oleh karena itu, ketika seorang Muslim melaksanakan ibadah tertentu harus membersihkan terlebih dahulu aspek lahiriyahnya. Ajaran Islam yang memiliki aspek akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak ada kaitan dengan seluruh kebersihan ini. Hal ini terdapat dalam tata cara ibadah secara keseluruhan. Orang yang mau shalat misalnya, diwajibkan bersih fisik dan psikhisnya. Secara fisik badan, pakaian, dan tempat salat harus bersih, bahkan suci. Secara psikhis atau akidah harus suci juga dari perbuatan syirik. Manusia harus suci dari fahsya dan munkarat.
Dalam membangun konsep kebersihan, Islam menetapkan berbagai macam peristilahan tentang kebersihan. Umpamanya, tazkiyah, thaharah, nazhafah, dan fitrah, seperti dalam hadis yang memerintahkan khitan, sementara dalam membangun perilaku bersih ada istilah ikhlas, thib al-nafs, ketulusan kalbu, bersih dari dosa, tobat, dan lain-lain sehingga makna bersih amat holistik karena menyangkut berbagai persoalan kehidupan, baik dunia dan akhirat.

Ø  MAKNA THOHAROH
Thoharoh secara bahasa artinya bersih, kebersihan atau bersuci. Sedangkan menurut istilah ialah suatu kegiatan bersuci dari hadats dan najis sehingga seseorang diperbolehkan untuk mengerjakan suatu ibadah yang dituntut dalam keadaan suci seperti sholat dan thowaf. Kegiatan bersuci dari hadats dapat dilakukan dengan berwudhu, tayammum dan mandi, sedangkan bersuci dari najis meliputi mensucikan badan, pakaian dan tempat.
Dalil yang memerintahkan untuk bersuci antara lain :
"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri". (Al-Baqarah : 222).
"Dan bersihkanlah pakaianmu dan jauhilah perbuatan yang kotor (dosa). (Al-Muddatstsir : 4 - 5).
"Kebersihan itu sebagian dari iman." (HR. Mulim dari Abu Said Al-Khudri).
"Allah tidak akan menerima sholat seseorang yang tidak bersuci." (HR. Muslim).
Ø  HAKIKAT THOHAROH

Sumber ajaran Islam adalah al-Quran dan al-Sunnah. Dalam sumber ajaran tersebut, diterangkan bukan hanya aspek peristilahan yang digunakan tetapi juga ditemukan bagaimana sesungguhnya ajaran Islam menyoroti kebersihan.Untuk itu, maka perlu kajian tematik, sehingga ditemukan prinsip-prisnsipnya dan bagaimana sesungguhnya konsep kebersihan tersebut.

Memang, sebagai ajaran yang lengkap yang memiliki unsur-unsur akidah, syariah dan muamalah sudah semestinya konsep tersebut ada, lebih-lebih bila dilihat dari aspek maqashid al-Syariah yang termasuk aspek tahsini dan berkaitan dengan akhlak karimah.
Istilah yang digunakan

Sebagaimana disinggung al-Quran dan Sunnah banyak menggunakan istilah-istilah yang berkaitan dengan kebersihan atau kesucian. Dalam al-Quran ada istilah thaharah sebanyak 31 kata dan tazkiyah 59 kata. Dalam al-Quran istilah nazhafah, sementara dalam hadis kata nazhafah dapat kita lihat dalam riwayat bukan hadis, “al-Nazhafatu min al-Iman”,, walaupun hadis tersebut dipertanyakan keabsahannya.

Dalam implementasinya, maka istilah thaharah dan nazhafah ternyata kebersihan yang bersifat lahiriah dan maknawiyah, sementara nazhafah atau fikih, istilah thaharah digunakan. Pada kitab-kitab klasik dikhusukan Bab al-Thaharah yang bisasanya disandingkan dengan Bab al-Najasah yang selanjutnya juga dibahas masalah air dan tanah, wudu, mandi, mandi janabat, tayamum, dan lain-lain. Namun demikian, ketika Allah menerangkan tentang penggunaan air untuk thaharah disandingkan pula dengan kesucian secara maknawiyah, Dimaksud dengan maknawiyah ialah kesucian dari hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil, sehingga dapat melaksanakan ibadah, seperti salat dan thawaf.

Makna kebersihan yang digunakan dalam Islam ternyata ada yang dilihat dari aspek kebersihan harta dan jiwa dengan menggunakan istilah tazkiyah. Umpamanya, ungkapan Allah dalam al-Quran ketika menyebutkan bahwa zakat yang seakar dengan tazkiyah, memang maksudnya untuk membersihkan harta, sehingga harta yang dizakati adalah bersih dan yang yang tidak dizakati dinilai kotor. Kebersihan dan kotor harta sebenarnya ada korelasinya dengan jiwa. Suatu fitrah adalah kebudayaan itu sendiri, sekaligus peradaban dan keyakinan.

Dengan demikian, maka konsep kebersihan dan kesucian yang berdasarkan keyakinan dan kebudayaan masing-masing ada nuansa, perbedaan, lidahnya; gajah, kerbau, dan babi yang kesohor makhluk “menjijikan” mandi di kubangan, dan demikian seterusnya. Dalam bahasa Indonesia terdapat kosa-kata kotor dan jijik serta kebalikannya, bersih dan suci. Namun, semua itu baru pada tingkat lahiriyah. Lalu, bagimana Islam memberi makna kebersihan tersebut. Justeru yang menarik lagi dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar, bahkan melakukannya sendiri, bukan hanya membersihkan badan kita, tetapi pakaian, rumah, halaman, kendaraan dengan menggunakan istilah mencuci pakaian, kendaraan dan lain-lain. Mencuci diambil dari kata “mensucikan”, membikin suci yang diidentikkan dengan bersih. Ini artinya, apapun yang ada harus dibersihkan atau disucikan.

Ø  TUJUAN THOHAROH
a.       Mengsucikan diri, orang dalam keadaan berhadats tidak boleh sholat hingga ia wudhu atau tayamum.
b.      Menjaga kesehatan, dengan kebersihan kesehatan kita akan selalu terjaga.
c.       Menjauhkan penyakit, penyakit tidak akan berani mendekati yang bersih.
d.      Dan lain sebagainya.













BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
Ø  Konsep Ibadah dalam Islam sangatlah luas dan berkembang selalu mengikuti perubahan zaman.
Ø  Makna, Hakikat dan Tujuan Ibadah dalam Islam tentulah sangat berbeda namun pada akhirnya berujung pada suatu bentuk keta’atan kita terhadap Alloh sebagai upaya untuk menggapai mardhotillah.
Ø  Tabir/rahasia di balik Ibadah sangatlah banyak sekali jika kita mau untuk mencaritahu akan hal itu, karena Alloh adalah yang maha segalanya.
Ø  Jaganlah menjadikan Ibadah itu hanya sebatas simbolik kita sebagai umat Islam saja, akantetapi ketahui dan cari tahulah makna, hakikat dan tujuan dari Ibadah itu sendiri. Setidaknya kita tahu kenapa kita beribadah.
Ø  Islam adalah satu-satunya ad-dien yang paling sempurna yang di ridhoi oleh Alloh SWT.
Ø  Islam tidak memiliki kecacatan sedikitpun, kalaupun ada bukanlah Islam yang harus di salahkan tapi kita sebagai manusia yang tak pernah luput dari krsalahan dan kebodohan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar