Kamis, 18 Agustus 2011

PEMIKIRAN FILSAFAT DEMOKRASI


oleh : Lutfi Fahrul Rizal*

PENDAHULUAN
“... disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republi Indonesia
yang berkedaulatan rakyat ...”[1]
Demokrasi adalah kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita, terlepas kelas manapun tentunya, pernah mendengar kata tersebut, bahkan di Negara Indonesia itu sendiri telah termuat makna demokrasi yang tertera pada salah satu media massa yaitu media cetak harian umum “Pikiran Rakyat” yang dimana di bawah title-nya tertera makna subtantif dari demokrasi itu sendiri, walaupun memang masih membutuhkan pengkajian dan pengalaman yang lebih lagi guna terciptanya sikap yang akuntabel. Pada dasarnya, hampir rerata orang pernah mengenal dan mendengar setidaknya kata tersebut, hanya saja bagaimana cara mengartikan dan memaknainya belum dapat di pastikan memiliki kesetaraan yang final (goal equality mind).
Selayaknya, hal tersebut haruslah bisa di pahami oleh seluruh bangsa Indonesia yang merupakan salah satu dari beberapa rukun adanya NKRI ini, betapa tidak seorang warga Negara tida katahu menahu akan system yang di anut guna menjalankan atau sebuah pola jalan yang di gunakan sebagai acuan tindak lanjut dari ke-warga negaraannya untuk menjadi warga Negara yang baik dan merupakan upaya pemahaman apa dan berada dimana, serta harus bagaimana dirinya.
Pada kesempatan ini akan di bahas,sedikit mengenai kata tunggal ”Demokrasi” tersebut serta keterkaitan-keterkaitan dengan yang lainnya.Teoritisi dan perbandingan sebuah pernyataan yang dulu dengan sekarang, tak mungkin untuk di hilangkan. Layaknya sebuah speda motor yang memiliki kaca spion dan juga halnya seorang Manusia yang selalu masih menyimpan sebuah kenangan di dalam kongkrinitasnya ataupun abstraktinitasnya itu sendiri. Karena, suatu hal tersebut adalah memiliki nilai sangat berharga dan menyimpan banyak mutiara bagi sebagian orang tertentu, yang harus di hargai dan di jaga dengan tata yang apik agar tak menjadi kenangan yang telah menjadi kenangan.
RUMUSAN MASALAH
Adapun yang menjadi rumusan masalah yang akan di bahas pada makalah ini, adalah sebagai berikut:
2.1  Arti Atau Definisi Filsafat dan Demokrasi
2.2  Tentang Filsafat Demokrasi
2.3  Demokrasi Sebagai Ideologi
2.4  Demokrasi Dan Konsep Perwakilan


PENGKAJIAN MASALAH
2.1  Arti Atau Definisi Filsafat dan Demokrasi
Definisi atau suatau kegiatan pengartian, tentu saja sangat memiliki arti yang ber-eka arti.Dengan alasan, keterbatasan dan ke-relatifannya sebuah ilmu yang di hasilkan dari usaha seorang yang tak pernah sampai kepada “Causa Prima” yang benar-benar Mutlak. Maka darinya, tak salah seorang mengartikan menurut asumsinya sendiri, dengan catatan akuntabilitas yang harus diperhatikan dan bukan kesewenangan karena jaminan opini yang di miliki.
I.            Filsafat
Filsapat secara etimologi berasal dari kata Philein = mencintai; sophos = kearifan/kebijaksanaan. Jadi Filsafat adalah usaha untuk mencintai kearifan.sedangkan, secara terminologi adalah suatu sikap metode berpikir terhadap suatu kelompok masalah ataupun kelompok teori dengan studi analisis kritis bahasa dan definisi yang berusaha mampu untuk melahirkan sebuah pola pemahaman yang komprehensif.

Definisi Filsafat berdasar Watak & Fungsi :
1.      Informal: Sikap dan kepercayaan yg diterima scr tdk kritis.
2.      Formal: Sikap kritis atas kepercayaan yg dijunjung tinggi.
3.      Spekulatif: Hasil berbagai sains dan teknologi yg ditinjau dari pengalaman kemanusiaan.
4.      Logosentris: analisis kata dan konsep.
5.      Aktual: problem yg berkembang di masyarakat dan dicarikan jawabannya oleh para ahli filsafat.

Ciri-ciri Berpikir Filsafat:
ü  Radikal; sampai ke akar persoalan
ü  Kritis; tanggap terhadap persoalan yang berkembang
ü  Rasional; sejauh dapat dijangkau akal mns
ü  Reflektif; mencerminkan pengalaman pribadi.
ü  Konseptual; hasil konstruksi pemikiran
ü  Koheren; runtut, berurutan.
ü  Konsisten; berpikir lurus/tidak berlawanan.
ü  Sistematis; saling berkaitan.
ü  Metodis; ada cara untuk memperoleh kebenaran
ü  Komprehensif; menyeluruh
ü  Bebas & bertanggungjawab

Filsafat, Ideologi dan Agama aadalah tiga dimensi yang tidak dapat di pisahkan karena ketiganya memiliki saling keterkaitan yang sangat erat dalam hal studi kritisnya guna melahirkan sebuah pola pemahaman yang komprehensif. Namun, dari ketiga hal tersebut tentunya memiliki karakter khas yang melekat padanya masing-masing, yaitu:
1.      Filsafat, berlandaskan pada dimensi kritis dan bersifat individual
2.      Ideology, berlandaskan pada dimensi mitos dan bersifat kolektif
3.   Agama, berlandaskan pada dimensi kritis dan bersifat eskatologis

II.            Demokrasi
Demokrasi pun demikian, memiliki arti yang sangat beragam sekali.seperti yang di ungkapkan oleh beberapa ahli, di antaranya :
Menurut Abraham Lincoln (Presiden AS ke-16), demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat (Democracy is government of the people, by the people and for the people). Azas-azas pokok demokrasi dalam suatu pemerintahan demokratis adalah:
·         Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya melalui pemilihan wakil-wakil rakyat untuk parlemen secara bebas dan rahasia; dan
·         pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia.
Sedangkan, menurut Abdul Ghani Ar Rahhal di dalam bukunya, Al Islamiyyun wa Sarah Ad Dimuqrathiyyah mendefinisikan demokrasi sebagai “kekuasaan rakyat oleh rakyat”. Rakyat adalah sumber kekuasaan.Ia juga menyebutkan bahwa orang yang pertama kali mengungkap teori demokrasi adalah Plato. Menurut Plato, sumber kekuasaan adalah keinginan yang satu bukan majemuk. Definisi ini juga yang dikatakan oleh Muhammad Quthb dalam bukunya Madzahib Fikriyyah Mu’ashirah. Dan juga oleh penulis buku Ad Dimuqrathiyyah fi Al Islam serta yang lainnya.[2]
Dengan sebuah pemahaman penggabungan dari dua definisi di atas, maka dapat di ambil steatment bahwasanya Demokrasi itu sendiri adalah menempatkan hakikat “kerakyatan” di atas segalanya guna tercapai apa yang menjadi harapan rakyat itu sendiri dengan mengadopsi aturan main yang ada pada mayoritas rakyat, deng n tujuna untuk memberikan batasan-batasan etis mengenai kedaulatannya (ethical kode).

2.2  Tentang Filsafat Demokrasi
Filsafat Demokrasi kiranya dapat di pahami, sebagai suatu bentuk gagasan pola pikir yang hasilkan dari aktifitas ilmuwan (proses), dengan metode tertentu yang di gunakan (procedural), yang menghadirkan sebuah produk kekuasaan ataupun pola system yang berideologikan kepada kerakyatan (produk). Gagasan tentang demokrasi  memiliki nilai yang relative (Relativisme value), berbeda dengan filsafat yang memiliki nilai spekulatif (50:50) merupakan hasil atas dasar rasionalistis otak manusia juga berbeda ajaran agama yang memiliki nilai absolut (mutlak), yang berdasarkan kepada wahyu (perkataan Tuhan).
Gagasan Demokrasi ini sesungguhnya sudah muncul sejak sekitar abad ke-5 SM, pada masa Yunani Kuno.Pada waktu itu demokrasi dilakukan secara langsung (direct democracy).Negara-negara di Yunanipada masa itu merupakan Negara-kota (polis), khususnya di kota Athena. Wilayahnya sempit dan jumlah penduduknya juga masih sedikit.Rakyat dengan mudah dapat dikumpulkan untuk bermusyawarah, guna mengambil keputusan tentang kebijakan pemerintahan. Demokrasi model Yunani itu tidak bertahan lama, hanya beberapa ratus tahun. Penyebabnya adalah munculnya konflikpolitik dan melemahnya kemampuan Dewan Kota dalam memimpin polis.Puncaknya adalah ketika Romawi menyerbu Yunani dan kemudian menjajahnya, yang hal itu menandai runtuhnya demokrasi di Yunani.
Sejak runtuhnya demokrasi, bangsa Eropa hidup dalam sistem monarki absolut dalam kurun waktu yang panjang.Kekuasaan yang demikian berlangsung di Eropa hingga menjelang abad ke-19.Kekuasaan yang absolut (mutlak) tersebut digunakan oleh raja untuk bertindak sewenang-wenang, sehingga mengakibatkan penderitaan rakyat.Setelah berabad-abad tenggelam, paham demokrasi kembali muncul, sebagai reaksi penentangan terhadap kekuasaan raja yang absolut tersebut. Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, usaha-usaha untuk membatasi kekuasaan penguasa agar tidak menjurus ke arah kekuasaan absolut telah menghasilkan ajaran Rule of Law(kekuasaan hukum).
Ajaran ini menegaskan bahwa yangberdaulat dalam suatu negara adalah hukum.Semua orang, baik rakyat biasa maupun penguasa wajib tunduk pada hukum.Diberlakukannya ajaran ini guna menghindarkan tindakan sewenang-wenang penguasa terhadaprakyat. Dengan kata lain, hak-hak rakyat akan terlindungi.
Adapun unsur-unsur rule of law itu meliputi :
a.       Berlakunya supremasi hukum (hukum menempati kedudukan tertinggi (semua orang tunduk pada hukum), sehingga tidak ada kesewenang-wenangan.
b.      Perlakuan yang sama di depan hukum bagi setiap warga negara.
c.       Terlindunginya hak-hak manusia oleh Undang-Undang
Dasar serta keputusan-keputusan pengadilan.Setelah berakhirnya Perang Dunia II, demokrasi dipandangsebagai pilihan terbaik oleh hampir semua negaradi dunia.Negara kita Republik Indonesia yang diproklamasikanhampir bersamaan dengan berakhirnya Perang DuniaII juga menyatakan diri sebagai negara demokrasi ataunegara yang berkedaulatan rakyat. Bacalah Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, yang penggalan alinea keempat

2.3  Demokrasi Sebagai Ideologi
Tracy merupakan orang pertama yang menyatakan istilah ideologi sebagai suatu ilmu yang menentukan asal mula gagasan. Tracy dalam Varma (2002: 116) berkeyakinan bahwa semua pemikiran berasal dari cerminan yang ditentukan oleh pancaindera atau realita tunggal yang dapat ditangkap oleh panca indera. Ideologi sama saja dengan bagian dari zoologi dan kecerdasan manusia dapat diperiksa dan digambarkan seperti memeriksa sifat suatu zat atau tanaman, atau suatu keadaan yang menakjubkan dalam kehidupan suatu bintang. Bagi Tracy dalam Varma (2002: 116) sama halnya dengan metafisika yang hanya ilusi dan fantasi, yang merupakan hasil dari imajinasi demi kesenangan orang bukan untuk mengatur orang. Baginya, hampir sama ideologi hampir sama dengan pengetahuan yang terdiri atas ide-ide yang berhubungan dengan pengalaman yang nyata. Seperti Condillac, Helvitius, dan pemikir prarevolusi lainnya di Prancis, Tracy dalam Varma (2002: 117) menyatakan tiada sumber gagasan lain selain perasaan bahwa semua pemikiran akhirnya dapat ditelusuri hingga pada perasaan sentio ergo sum (saya merasa, karena itu saya ada). Dengan menelusuri semua gagasan sampai pada pengalaman panca-indera, dapat diciptakan suatu ilmu baru tentang manusia untuk menjadi petunjuk bagi keseluruhan kehidupan politik manusia. Seseorang yang dapat membedah suatu ide dapat menggunakan ilmu ini untuk membentuk kembali tatanan sosial kemasyarakatan yang baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang diinginkan.
Kata ideologi tidak lagi dipakai dalam pengertian yang digunakan oleh Tracy dalam Varma (2002: 117) yang sekarang ideologi itu lebih diartikan perangkat gagasan apa pun yang digunakan untuk mendukung sistem politik dan ekonomi tertentu. Tetapi Tracy dalam Varma (2002: 117) telah memulai suatu gerakan fikiran yang berpuncak pada reduksionisme ideologis Karl Marx.[3]
Secara metodologis, demokrasi mengandung makna filosofis di mana kemenangan suara mayoritas merupakan kebenaran. Kebenaran ini harus diberlakukan bagi seluruh rakyat tanpa pengecualian (termasuk minoritas dan atau golongan putih). Kebenaran mayoritas ini dituangkan dalam berbagai format peraturan perundang-undangan atau hukum positif yang berlaku. Kebenaran mayoritas sebagai suara rakyat yang di jadikan landasan pengambilan hukum yang berasal dari konsensus sosial bersama. Pengambilan hukum inilah yang mempresentasikan pengambilan kebenaran dan keadilan yang akan dituangkan dalam format yuridis. Secara otomatis dapat dkatakan bahwa kebenaran dan keadilan ini berasal dari persepsi rakyat yang diwakilkan kedalam persepsi wakil rakyat (dalam demokrasi perwakilan), yang kemudian mempunyai ukuran legitimasi tindakan demokratis selanjutnya,[4]
Segala apapun yang menjadi kehendak rakyat adalah hal yang harus terlaksana, jika memang yang menyuarakannya adalah khalayak mayoritas dan bukan khlayak minoritas, itulah Demokrasi. Jadi, Demokrasijika di katakan layaknya sebuah kebebasan yang se-bebas-bebasnya itu adalah keliru, karena di dalam Demokrasi itu sendiri memiliki aturan main dan batasan-batasan yang harus di patuhi. Tentunya, aturan main itu hasil adalah yang ciptakan atau di munculkan dari proses Demokrasi yang sehat, guna mencapai hasilnya yang sehat pula. Sebuah sistem yang di pakai pada suatu Negara, tentunya harus memiliki nilai karakter yang khas (character value), yang mampu membedakannya dengan yang lain. Demokrasi pun begitu, seperti yang di ungkapkan oleh Henry B. Mayo dalam An Introduction to Democratic Theory (1960) menjelaskan tentang sistem politik yang demokratis.
Menurutnya, sistem politik akan berlangsung dengan demokratis jika kebijaksanaan umum (keputusan negara atau lembaga dalam sebuah sistem politik) ditentukan atas dasar mayoritas (yang lebih banyak) oleh perwakilan rakyat yang diawasi secara ketat oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan pada prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Henry B. Mayo juga menyebutkan adanya 6 nilai demokrasi. Nilai-nilai tersebut adalah:
1.      Menyelesaikan permasalahan dengan damai dan secara melembaga.
2.               Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam sebuah masyarakat yang sedang berubah.
3.      Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur.
4.      Membatasi pemakaian kekerasan sampai batas minimum.
5.      Mengakui adanya keanekaragaman (perbedaan) dan menganggapnya wajar.
6.      Menjamin tegaknya keadilan.
Merujuk kepada teori kuno Socrates[5], setiap ideologi yang di gunakan di pastikan memiliki ekses tertentu sebagai akibat dari kegagalan ataupun keberhasilannya itu.
1)      Aristokrasi akan berimbas kepada Oligarki, sebagai hasil kegagalannya dalam penerapan sistem tersebut, cita-cita yang di terapkan sangatlah luhur dalam hal ini ke-pemerintah-an hendak di lakukan oleh sekelompok orang yang piawai dalam berbagai hal (polymath) yang di percaya oleh khalayak sebagai yang menuntun ke arah tujuan (primu Inter Pares) guna tercapainya tujuan dan kepentingan bersama yang beralih untuk kepentingan dan tujuan kelompok kecil yang memegang kendali tersebut.
2)      Monarki akan berimbas kepada Tirani, sebagai bentuk kegagalannya pula dalam penerapan sistem tersebut, rakyat yang menganggap keturunan kerajaana dalah mereka yang di percaya sebagai wakil Tuhan atau wakil Dewa di bumi pastilah yang mampu menyalakan lilin kehidupan yang di terangi cahaya untuk tegaknya keadilan dan kesejahteraan bagi yang di sekelilingnya namun telah berimbas kepada penindasan dan intimidasi keadilan yang terlalu di paksakan untuk apa yang telah menjadi kepentingan ”sang wakil Tuhan itu sendiri tanpa harus memperhatikan nasib mereka yang sekarat.
3)      Demokrasi akan berimbas kepada Anarki, sebagai bentuk kegagalannya Demokrasi yang menempatkan kepentingan, kesejahteraandan kemaslahatan rakyat di atas segalanya telah berubah denganhadirnya mereka seorang diri atau sekelompok orang yang memakai identitas ”Atas Nama Rakyat”, ”Untuk Kepentingan Rakyat” dan ”Demi Rakyat” Namun tanpa ”Sepengetahuan Dan Kehendak Rakyat” telah berbuat dan bertindak dengan tanpa lagi mengindahkan nilai-nilai Demokrasi yang telah di bangun akan berimbas kepada prilaku langsung dari rakyat yang sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang merasakan sudah tidak lagi sejajar dengan kehendak sang pemegang kekuasaan. Yang dominonya melakukan kekacauan tatanan lembaga elit dengan penataan kembali yang sulit karena sistem pertanggungjawaban yang tidak bisa di lakukan pada akhrinya.

2.4  Demokrasi Dan Konsep Perwakilan
Studi perwakilan politik terpusat kepada lima pokok masalah perwakilan politik yaitu: konsepsi, idiologi, pemilihan umum dan lembaga perwakilan.[6] Teori perwakilan politik merupakan konsekwensi daripada negera yang menganut system demokrasi. Dimana kekuasaan raja tidak menjadi kekuasaan tunggal dan mutlak (single and absolute power). Dalam hal ini konsep perwakilan menghendaki adanya pembagian kekuasaan hingga terbentuknya keseimbangan antara lembanga-lembaga tersebut seperti tang telah diuraikan dalam konsep trias politica. Dimana kekuasaan dibagi menjadi eksekutive, legislative dan yudikative.
Perwakilan politik sebagai sebuah praktek telah lama berlangsung dalam kehidupan bernegara jauh sebelum teori-teori perwakilan itu lahir, perwakilan politik telah lahir dan di laksanakan oleh beberapa negara dan bangsa sejak zaman dahulu mulai dari zaman Yunani kuno, Romawi dan juga pada Zaman Islam ketika Nabi Muhammad Masih hidup. Pada zaman Yunani kuno masyarakat hidup dalam suatu negara yang di sebut dengan polis, dimana konsep perwakilan pada saat itu dilaksanakan secara langsung, karena jumlah masyarakat yang relatif sedikit dan wilayah yang tidak terlalu luas. Begitu juga pada zaman romawi kuno.
Pada zaman Nabi Muhammad konsep perwakilan telah lama di kenal dengan sebutan Ulil Amri (pemimpin yang menjadi wakil), dimana pada saat intu telah ada yang sifatnya perwakilan dalam merumuskan berbagai persoalan bangsa. Dimana para para Ulil Amri dipilih dari kabilah-kabilah yang ada di Kota Madinah dan sekitarnya.
Konsep perwakilan yang ada pada saat itu adalah baik zaman yunani kuno dan pada zaman rasulullah masih dilaksanakan dengan demokrasi langsung (perwakilan langsung), dimana dipilih secara lansung pada zaman yunani kuno dan pada zaman islam dipilih berdasarkan musyawarah siapa diantara mereka yang paling layak dalam mewakili dari para kaumnya. Fungsi perwakilan pun pada saat dulu masih terbatas mengingat kekuasaan raja yang besar dan belum kompleknya permasalahan negara seperti saat ini. Sementara dalam konteks perwakilan pada zaman rasulullah hanya membicarakan hal-hal yang sifatnya sangat dalam konteks duniawi seperti peperangan, perekonomian negara yang kesemua itu dilaksanakan dan diputuskan jika ketentuannya tidak ada dalam Al Qur’an dan Sunnah Rosul.
Konsep Perwakilan :
1.      Delegated Representation, seorang wakil adalah perantara (juru bicara) yang bertindak atas nama kelompok yang diwakilinya. Karena itu, para wakil yang berlaku sebagai perantara tidak diperkenankan untuk bertindak di luar kuasa yang memberi mandat.
2.      Microcosmic Representation, ada kesamaan sifat-sifat atau pun mereka yang diwakili dengan diri sang wakil. Karenanya kebutuhan ataupun tuntutan wakil adalah juga kebutuhan mereka yang diwakili. Dalam konsep ini masalah kuasa dan hal-hal yang harus dilakukan tidak pernah menjadi persoalan krusial antara wakil dan yang diwakili oleh karena kesamaan sifat yang dimiliki.
3.      Simbolyc Representation, merupakan bentuk perwakilan yang hendak memperlihatkan bahwa mereka yang mewakili kelompok tertentu melambangkan identitas atau kualitas kelas atau golongan yang tengah diwakilinya. Dalam simbolyc representation tidak dipersoalkan juga mengenai masalah kuasa atau hal-hal yang harus dilakukan.
4.      Elective Representation, konsep ini dianggap belum menggambarkan kuasa atau hal-hal yang harus dilakukan wakil mereka, sehingga belum menjelaskan tentang hubungan antara wakil dengan yang memilihnya.
5.      Party Representation, individu-individu dalam lembaga perwakilan merupakan wakil dari partai politik (konstituen) yang diwakilinya.

Teori Perwakilan :
1. Teori mandate, Seorang wakil dianggap duduk di lembaga Perwakilan karena mendapat mandat dari rakyat sehingga disebut mandataris. Yang memberikan teori ini dipelopori oleh Rousseau dan diperkuat oleh Petion. Teori mandat ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok pendapat :
a.       Mandat Imperatif, menurut teori ini bahwa seorang wakil yang bertindak di lembaga perwakilan harus sesuai dengan perintah (intruksi) yang diberikan oleh yang diwakilinya. Si wakil tidak boleh bertindak di luar perintah, sedangkan kalau ada hal-hal atau masalah/persoalan baru yang tidak terdapat dalam perintah tersebut maka sang wakil harus mendapat perintah baru dari yang diwakilinya. Dengan demikian berarti akan menghambat tugas perwakilan tersebut, akibatnya lahir teori mandat baru yang disebut mandat bebas.
b.      Mandat Bebas, teori ini berpendapat bahwa sang wakil dapat bertindak tanpa tergantung pada perintah (intruksi) dari yang diwakilinya. Menurut teori ini sang wakil adalah merupakan orang-orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum dari masyarakat yang diwakilinya sehingga sang wakil dimungkinkan dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya. Ajaran ini dipelopori oleh Abbe Sieyes di Perancis dan Block Stone di Inggris. Dalam perkembangan selanjutnya teori ini berkembang menjadi teori Mandat Representatif.
c.       Mandat Representative, teori ini mengatakan bahwa sang wakil dianggap bergabung dalam lembaga perwakilan, dimana yang diwakili memilih dan memberikan mandat pada lembaga perwakilan, sehingga sang wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemilihnya apalagi untuk minta pertanggungjawabannya. Yang bertanggung jawab justru adalah lembaga perwakilan kepada rakyat pemilihnya.
2. Teori organ, Ajaran ini lahir di Prancis sebagai rasa ketidakpuasan terhadap ajaran teori mandat. Para sarjana mencari dan membuat ajaran/teori baru dalam hal hubungan antara wakil dengan yang diwakilinya. Teori Organ diungkapkan oleh Von Gierke (Jerman), bahwa negara merupakan satu organisme yang mempunyai alat-alat perlengkapannya seperti : eksekutif, parlemen dan rakyat, yang semuanya itu mempunyai fungsinya sendiri-sendiri namun antara satu dengan lainnya saling berkepentingan. Dengan demikian maka setelah rakyat memilih lembaga perwakilan mereka tidak perlu lagi mencampuri lembaga perwakilan tersebut dan lembaga ini bebas menjalankan fungsinya sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
3. Teori sosiologi, Ajaran ini menganggap bahwa lembaga perwakilan bukan merupakan bangunan politis, akan tetapi merupakan bangunan masyarakat (sosial). Para pemilih akan memilih wakil-wakilnya yang dianggap benar-benar ahli dalam bidang kenegaraan yang akan bersungguh-sungguh membela kepentingan para pemilih. Sehingga lembaga perwakilan yang terbentuk itu terdiri dari golongan-golongan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Artinya bahwa lembaga perwakilan itu tercermin dari lapisan masyarakat yang ada. Yang membahas teori ini dipelopori oleh Rieker.
4. Teori hukum obyektif, Leon Duguit mengatakan bahwa hubungan antara rakyat dan parlemen dasarnya adalah solidaritas. Wakil-wakil rakyat dapat melaksanakan dan menjalankan tugas kenegaraannya hanya atas nama rakyat. Sebaliknya rakyat tidak akan dapat melaksanakan tugas kenegaraannya tanpa memberikan dukungan kepada wakil-wakilnya dalam menentukan wewenang pemerintah. Dengan demikian ada pembagian kerja antara rakyat dan parlemen (Badan Perwakilan Rakyat). Keinginan untuk berkelompok yang disebut solidaritas adalah merupakan dasar dari hukum dan bukan hak-hak yang diberikan kepada mandataris yang membentuk lembaga perwakilan tersebut.
Jenis hubungan perwakilan:
1.      Trustee, wakil yang bersangkutan mempunyai kebebasan secara luas untuk menggunakan pertimbangannya sendiri dalam rangka pengambilan keputusan di lembaga perwakilan. Para wakil menganggap dirinya sebagai wakil dari seluruh rakyat.
2.      Delegate or servant (utusan atau pelayan/pesuruh), para utusan yang bersangkutan harus selalu berkonsultasi terlebih dahulu dengan yang diwakilinya sebelum mengambil suatu keputusan atau sikap terutama tentang berbagai masalah yang bersifat prinsip atau pun baru.
3.      Politoco (bebas), bentuk perwakilan yang dapat bertindak bebas sesuai kebutuhan serta keadaan dan masalah yang dihadapi. Artinya para wakil dapat berperan dalam bentuk trustee atau pun dalam bentuk delegate or servant.

Tokoh-tokoh pemikir teori perwakilan politik;
a)      Thomas hobbes (1588-1679) dalam bukunya “leviathan”
b)      John locke (1632-1704) dalam bukunya “Two Treatise On Government”
c)      Montesquieu (1689-1755) dalam bukunya “Del L’esprit Des Lois”
d)     Jean jacques rousseau (1712-1778) dalam bukunya “The Social Contract”

PENUTUP
            Dari uraian yang cukup panjang, dan dari pernyataan berbagai berbagai sumber yang telah di dapat penulis cukup memberikan satu kesimpulan bahwa opini khalayak terhadap Demokrasiyan notabenenya kini telah menjelma sebagai Ideologi daripada NKRI itu sendiri. Wajah Demokrasi NKRI kini telah berganti kulit Oligarki-Korporatoraksi jika di tinjau dari sisi realitas decade Orde Baru hingga detik ini, baik itu dari segi Hukum, Politik, Ekonomi ataupun yang lainnya. Namun, hal tersebut sadar tidaklah dapat di dsasarkan kepada satu realita saja guna terciptanya komprehensifitas pemahaman. Demokrasi mempunyai tugas yang sangat pentin sekali, yaitu adalah terwujudnya masyarakat yang Demokratis. Menurut Habermas, masyarakat Demokratis aadalah masyarakat yang otonom dan dewasa. Dan dalam hal ini, Demokrasi adalah bagian yang integral dalam sejarah panjang berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan dinamika yang sangat berwarna baik itu dari segi struktur maupun kultural. Suatu hal yang masih memerlukan pengkajian dan pemahaman yang lebih lagi untuk memberikan pandangan dan penilaian terhadap semua ini.






DAFTAR PUSTAKA
Miriam Budiarjo; Dasar-Dasar Ilmu Politik, dalam buku suntingan Toni Adrianus Pito, Kemal Fasyah, dan Efriza; Mengenal Teori-teori Politik, Cetakan Pertama, Depok, 2005,
AAGN Ari Dwipayana dan Ratnawati. 2005. “Teori-teori Demokrasi” dalam “Teori Politik (Modul)”. PLOD UGM.Yogyakarta.
Mohtar Mas’oed. 2003. Negara, Kapital, dan Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Eko, Sutoro. 2006. “Krisis Demokrasi Elektoral”, artikel dalam Prajarta dan Nico (eds). Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004.Pustaka Pelajar dan Percik.Yogyakarta-Salatiga.
Dahl, Robert A. 1973.Polyarchy: Participation and Opposition. Yale University Press. Chelsea.
Rousseau, Jean Jacques. 2007. Perjanjian Sosial (Du Contract Social). Edisi Indonesia. Visi Media. Jakarta.
SP.Varma; Teori Politik Modern, dalam buku suntingan Toni Adrianus Pito, Kemal Fasyah, dan Efriza; Mengenal Teori-teori Politik, Cetakan Pertama, Depok, 2005,
Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net
Noer, Deliar, Pemikiran Politik di negeri Barat, Cetakan IV, Mizan, Bandung, 1999.
Suntana, ija, kekuasaan legislative dalam system ketatanegaraan islam. Aditama. Bandung. 2007


[1] Kutipan Alinea ke empat UUD RI 1945,
[2]Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber: www.assunnah.cjb.net
[3] Artikel : “Komunitas Embun Pagi” edisi Minggu, 16 Maret 2008
[4]Nurtjahjo (2005: 70).
[5] Manawir Sjadzali: “Islam Dan Tata Negara”
[6] Sanit,1985

*Mahasiswa Jurusan Huum Ketata Negaraan Dan Politik Islam (SIYASAH)
UIN SGD Bandung

1 komentar: