Sabtu, 13 Agustus 2011

Negeri Kafir Yang Ambisius Dunia


oleh: Lutfi Fahrul Rizal*

Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh Bersedia Mundur
MINGGU, 24/04/2011 - 11:10
[View]
SANAA, (PRLM).- Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh setuju untuk mundur dalam 30 hari setelah masa transisi untuk mengakhiri situasi rusuh di negara yang sudah diperintahnya selama 32 tahun itu. Menurut sejumlah pejabat resmi di Ibu Kota Sanaa pemerintah telah menerima proposal solusi yang diajukan oleh negara-negara Teluk Arab.
Presiden Saleh akan menyerahkan kekuasannya kepada wakil presiden sebulan setelah kesepakatan dengan kelompok oposisi diteken, dengan imbalan dirinya tidak akan diadili. Setidaknya sudah 120 orang tewas dalam kerusuhan dalam dua bulan terakhir.
Pemerintah AS menyambut pengumuman ini; sebuah pernyataan dari Gedung Putih mendesak agar semua partai dengan "mulus" mengimplementasikan pemindahan kekuasaan dengan damai.
Pemimpin oposisi Yassin Noman seperti dikutip kantor berita "Reuters" dan dilansir "BBC" mengatakan menyambut baik kabar pemindahan kekuasaan ini namun menolak terlibat dalam sebuah pemerintahan bersatu nasional. Kelompok oposisi berkeras mereka menolak memberikan imunitas terhadap pengadilan Saleh dan keluarganya.
Jika Presiden Saleh benar mundur seperti diperkirakan, dirinya akan masuk dalam daftar bersama mantan presiden Tunisia, Zine al-Abidine Ben Ali, serta presiden Mesir, Hosni Mubarak, sebagai pemimpin negara Arab terbaru yang kehilangan kekuasaan akibat gelombang aksi demonstrasi tahun ini. (A-147)***

Hipotesis :
Sebuah revolusi yang tengah bergejolak di timur tengah ini sangatlah menimbulkan banyak hal tanda tanya, keterlibatan Negara-Negara asing dalam hal urusan dalam Negara itu sendiri secara tidak langsung telah memulai suatu interaktif antar Negara dalam arti lain sebagai hubungan internasional yang pastinya akan menimbulkan permasalahan internasional pula untuk di selesaikan dengan solusi yang bersifat internasional.
Ada yang memandang ini adalah bagian dari skenario Amerika Serikat untuk mendemokratisasikan Timur Tengah. Dalam pandangan ini dijelaskan bahwa aksi massa yang terjadi di Timur Tengah tidaklah bergerak dengan sendirinya, tapi ada kekuatan luar yang menopangnya, yaitu Amerika Serikat.
Pandangan lain menjelaskan aksi massa yang terjadi di Timur Tengah justru tergerak dengan sendirinya, secara spontanitas, karena massa telah jenuh hidup dalam keterkungkungan rezim otoritarianisme.
Memang gejolak yang menyebar di hampir seluruh kawasan Timur Tengah agak sulit untuk dipahami. Bermula dari penggulingan Presiden Zine el-Abidine Ben Ali di Tunisia, pemaksaan mundur Hosni Mubarak di Mesir, demonstrasi besar-besaran untuk menuntut lengsernya Presiden Muammar Khadafi di Libya, hingga berbagai aksi di Yaman, Yordania dan Bahrain, menunjukkan tren yang tidak terduga dan tidak dapat diprediksi kemana arahnya.
Terlepas dari ketidakpastian arah revolusi di kawasan Timur Tengah, peran militer tampak begitu kuat dan tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan revolusi. Seperti dicontohkan mantan diplomat Amerika Serikat, Robert H. Pelletreau, ketika Ben Ali memerintahkan pasukan militer untuk menghentikan kerusuhan, tentara menolak menembaki warga Tunisia yang sedang berdemonstrasi. Aksi demonstrasi pun terus merebak, sebagian disebabkan dukungan AS, sampai akhirnya Ben Ali melarikan diri keluar negeri (Foreign Affairs, 2011).
Berbeda dengan Tunisia, Mesir di bawah Presiden Mubarak, tidak selemah dan terisolasi seperti Ben Ali. Militer pendukung Mubarak pada awalnya sangat kuat, namun belakangan melemah disebabkan bertahannya masa demonstran di alun-alun Tahrir. Presiden Mubarak pun akhirnya mundur, namun menyisakan satu persoalan baru: pemerintah pengganti Mubarak merupakan dewan militer, yang sangat mungkin tidak kalah otoriter dari pemerintah Mubarak.
Revolusi di kawasan Timur Tengah saat ini boleh dibilang hal baru dalam gerakan politik penentangan rezim otoriter, karenanya sukar untuk diprediksi. Kim Holmes dalam blog heritage (2011) menyatakan gelombang revolusi ini sebagai hal yang tidak dapat diprediksi. Bahkan presedennya pun tidak pernah ada sebelumnya.
Menurut Holmes, nasionalisme Arab biasanya hanya merupakan fenomena elite yang mendorong dan mengeksploitasi sentimen rakyat. Tidak kalah penting dari elite nasionalis Arab, elite-elite ulama Islam juga mengeksploitasi keyakinan agama untuk mendorong kebencian sosial.
Namun gelombang protes yang terjadi belakangan ini sungguh merupakan gerakan rakyat, yang tidak berafiliasi pada elite nasional maupun elite religius. Inilah yang menyebabkan dunia begitu memperhatikan revolusi di kawasan Timur Tengah.
Demokratisasi memang menjadi agenda utama dunia sejak runtuhnya komunisme pada 1989. Dalam kasus dunia Arab, gerakan elite yang mendominasi pergantian pimpinan di negara-negara kawasan itu menjadi fenomena biasa, yang bahkan dunia Barat demokratis pun tidak terlalu ambil pusing.
Alasannya, pergantian seorang diktator di Timur Tengah, biasanya diikuti oleh munculnya diktator baru. Bagi dunia Barat, khususnya Amerika Serikat (AS), pergantian diktator baru di Timur Tengah itu penting untuk mengukuhkan hegemoni mereka di kawasan tersebut.
Sehingga apapun bentuk revolusi yang dijalankan di kawasan Timur Tengah, baik itu kudeta militer, gerakan nasionalisme, atau gerakan elite ulama, tidak terlalu mengkhawatirkan. Sebab, ujung-ujungnya para diktator itu tunduk kepada kehendak AS.
Bagaimanapun, revolusi Timur Tengah yang sekarang terjadi memiliki karakteristik berbeda. Revolusi ini tidak digerakkan oleh elite, melainkan gerakan rakyat sekuler yang sama sekali terlepas dari gerakan-gerakan sebelumnya.
Pada aksi ini juga kita hampir tidak menyaksikan satu pun sosok kepemimpinan yang kuat. Bahkan, pemimpin-pemimpin gerakan revolusi di kawasan Timur Tengah saat ini anonim.
Mereka datang dari rakyat yang sudah muak akan tingginya angka korupsi, dan rendahnya keterwakilan di pemerintahan, serta kemiskinan yang menjerat leher mereka.
Karena itu dapat diktakan bahwa revolusi Timur Tengah saat ini merupakan gerakan sekuler.
Jika di masa-masa sebelumnya gerakan revolusi didorong oleh kudeta militer ataupun identitas keagamaan, maka apa yang kita saksikan di berbagai negara Timur Tengah sekarang sudah sangat terlepas dari kedua hal tersebut. Mereka tidak bergerak berdasarkan identitas primordial. Mereka bergerak atas nama perjuangan keadilan.
Sebagai suatu gerakan sekuler, jelas revolusi di Timur Tengah mengkhawatirkan banyak bangsa demokratis di dunia Barat. Di sinilah kita dapat menyaksikan hipokrisi dan standar ganda negara-negara yang mengaku sebagai demokratis.
Di satu sisi, bangsa-bangsa itu menjunjung tinggi demokrasi dan mendorong demokratisasi di seluruh dunia, namun di sisi lain, mereka juga berhitung untuk tidak kehilangan hegemoni dan kendali atas kawasan Timur Tengah yang selama ini mereka nikmati.
Gerakan sekuler ini akan menjadi gerakan yang sungguh mengancam, tidak hanya bagi pemerintah otoriter di kawasan Timur Tengah, melainkan juga ancaman bagi menurunnya kendali dan hegemoni AS di kawasan itu.
Seperti salah satu contoh lainnya adalah keterlibatan prancis dengan sekutu dalam hal penyerangan terhadap pasukan moammar khadafi di Libya,seperti yang telah terjadi sebelumnya prancis tidak ikut melibatkan diri dalam sekutu ketika adanya invansi terhadap Irak oleh Amerika Serikat. Dan ternyata untuk hal keterlibatannnya ini, pihak prancis mengaku bahwasanya jika tidak mereka akanmenerima ekses yang lebih buruk lagi dari gejolak yang tejadi di Libya ini, persoalannya ketika terjadi kerusuhan, banyak warga Libya yang berpindah domisili untuk mencari keamanan ke prancis sebagai Negara yang berdekatan dengan Libya, maka karenanya jika tak segera di hentikan dan dengan menggunakan kekuatan prancis sebagai daya tekan luarnya, hal ini akan terus berlanjut yang menyebabkan prancis kebanjiran penduduk arab Libya.

*Mahasiswa Hukum Tata Negara Dan Politik Islam
UIN SGD BANDUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar