Kamis, 18 Agustus 2011

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

oleh : Lutfi Fahrul Rizal




1.Pengertian, Tujuan, Dan Sejarah PERATUN

Pengertian
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Yang dimaksud “rakyat pencari keadilan” adalah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing dan badan hukum perdata yang mencari keadilan pada Paradilan Tata Usaha Negara.

Tujuan
Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah:
1.      Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu.
2.      Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.

Tujuan tersebut diatas, kemudian ditampung dalam penjelasan umum angka ke-1 UU no. 5 Th 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara (untuk selanjutnya digunakan istilah UU PERATUN). Dengan demikian, fungsi dari Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) dengan rakyat (orang atau badan hukum perdata) sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara) atau dengan kata lain sebagai “Publik Service” antara pemerintah terhadap masyarakat.

Sejarah
Jika ditelusuri, sebanarnya telah banyak upaya yang dilakukan agar terwujud suatu Undang-Undang yang mengatur tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Upaya2 yang mendukung ke arah terwujudnya Undang2 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah dimulai sejak periode pra 1986, misalnya adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Wiryono Prodjodikoro, yang merintis lahirnya Undang-Undang tentang Peradilan Administrasi Negara sejak tahun 1949. Rancangan Undang-Undang Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (RUU LPHN) Gaya Lama. RUU Usul Inisiatif DPRGR dan RUU LPHN Gaya Baru semuanya bertujuan untuk membentuk Peradilan Tata Usaha Negara. Namun beberapa RUU yang telah diupayakan tersebut tidak diteruskan ke DPR untuk diadakan pembahasan. Barangkali yang menjadi sebabnya adalah belum adanya kemauan politik dari pemerintah pada waktu itu. RUU tentang Peradilan Tata Usaha yang pernah diajukan dan dibahas oleh DPR yaitu RUU Th 1982, namun No 14 Th 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kahakiman. Sebagai pelaksana, sudah barang tentu RUU ini harus sesuai dengan UU pokoknya. Karena itu, pemerintah beranggapan judulnya tidak bisa lain dari yang telah ditetapkan dalam UU pokoknya. Namun usul DPR tersebut telah diakomodasi dalam batang tubuhnya yang menyebutkan bahwa UU Peradilan Admistrasi Negara. Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 yang terakhir telah direvisi dengan UU No. 4 Tahun 2004 tantang Kekuasaan Kehakiman menentukan adanya 4 lingkungan peradilan yaitu :
1.Peradilan Umum
2.Peradilan Agama
3.Peradilan Militer
4.Peradilan Tata Usaha Negara

Masing-masing lingkungan peradilan memiliki wewenang mengadili badan–badan peradilan tingkat pertama dan banding, yang semuanya berpuncak ke Mahkamah Agung RI. Untuk melaksanakan ketentuan pasal 10 UU No. 14 Th 1970 Jo. UU No. 4 Th 2004, maka telah melalui proses panjang pada tanggal 29 Desember 1986 dibentuk UU No. 5 Th 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LN 1986 No. 77 dan TLN No. 3344). Setelah sempat ditidurkan selama 5 tahun sejak diundangkan, UU No. 5 Th 1986 baru diterapkan secara efektif setelah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Th 1991 tentang penerapan UU No. 5 Th 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LN 1991 No. 8) pada tanggal 14 Januari 1991. Yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi dibidang hukum, telah disahkan UU No. 9 Th 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Th 1986. Demikian secara ringkas sejarah lahirnya UU PERATUN.

2.Ruang Lingkup, Tugas dan Wewenang PERATUN

Ruang Lingkup
Sifat hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara berbeda dengan sifat hukum acara perdata. Bertumpu pada sifat tersebut, hukum acara PTUN menjadi bagian dari hukum publik. Konsekuensinya hukum acara PTUN memiliki karakter hukum publik. Dengan demikian PTUN termasuk peradilan dalam ruang lingkup hukum publik.

Tugas dan Wewenang
Pengadilan mempunyai tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha. (vide pasal 47 UU No. 5 Th 1986 Jo. UU No. 9 Th 2004). Pengadilan menurut UU PERATUN ini adalah Pengadilan Tata Usaha Negara dan/atau Pengadilan Tinggi TUN.

3.Subjek dan Objek Peratun

Subjek
Yang menjadi subjek di peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat dan Badan atau Pejabat TUN sebagai Tergugat. Mengenai orang (natuurlijk person) yang dapat menjadi Penggugat, UU PERATUN tidak mengaturnya. Menurut Indroharto, karena UU PERATUN belum mengatur hal tersebut, maka apa yang berlaku dalam hukum acara perdata dapat diterapkan pada hukum acara PTUN. Untuk dapat maju tidak dalam keadaan pailit. Selanjunya mengenai badan hukum perdata yang dapat bertindak sebagai pihak penggugat dalam ruang lingkup pengertian UU PERATUN ialah Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. (vide pasal 1 angka 6). Badan atau pejabat TUN adalah badan atau pejabat TUN yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (vide pasal 1 angka 2).

Objek
Yang menjadi objek Peratun adalah Surat Keputusan (Beschikking) yang di keluarkan oleh badan/pejabat TUN. Dari pengertian Keputusan TUN tersebut unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1.Penetapan Tertulis.
2.Dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN.
3.Berisi tindakan hukum TUN.
4.Berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.Bersifat konkret, individual dan final.
6.Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Ad. 1. Penetapan tertulis
Penetapan pasal tersebut menggariskan bahwa istilah penetapan tertulis terutama menunjuk pada isi dan bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktiannya. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu keputusan badan/pejabat TUN menurut UU ini apabila sudah jelas:
a.Badan atau pejabat TUN mana yang mengeluarkan;
b.Maksud serta mengenai hal apa tulisan itu;
c.Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya.

Ad. 2. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN
Sebagai suatu keputusan TUN, penetapan tertulis juga merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintah yang dikeluarkan oleh badan pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemeritahan. Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan badan atau pejabat TUN, disebutkan dalam pasal 1 angka 2: “ Badan atau pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Badan atau pejabat TUN disini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang melaksanakan yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu badan atau pejabat TUN. Sedang yang dimaksud urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif atau yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif, bahkan pihak swasta, seperti BUMN, Universitas swasta dan yayasan dapat dikategorikan sebagai badan atau pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di peratun.

Ad. 3. Berisi tindakan hukum TUN
Tindakan hukum TUN adalah perbuatan hukum badan atau pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan hukum TUN yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.

Ad. 4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kata berdasarkan dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh badan atau pejabat TUN harus ada dasarnya dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh badan atau pejabat TUN (pemerintah). Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang badan atau pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ad. 5. Bersifat konkret, individual dan final
Bersifat konkret artinya objek yang diputuskan dalam keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya pemberhentian si X sebagai pegawai negeri, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya. Bersifat individual artinya keputusan TUN itu ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat ataupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Umpamanya keputusan tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut. Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum . Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Kepegawaian Negara.

Ad. 6. Menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata
Menimbulkan akibat hukum disini artinyamenimbulkan suatu perubahan alam suasana hukuum yang telah ada. Karena penetapan tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk meni,bulkan akibat hukum yaitu mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya.

Perluasan :
Pasal 3 UU PERATUN yang biasa disebut KTUN yang bersifat fiktif negatif merupakan perluasan pengertian KTUN sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3, yaitu :
1.      Apabila badan/pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan keputusan tata usaha negara.
2.      Jika suatu badan/pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang2an yang dimaksud telah lewat, maka badan/pejabat tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
3.      Dalam hal peraturan perundang2an yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, badan/pejabat tata usaha negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Mempersempit :
Pasal 49 UU PERATUN merupakan ketentuan yang mempersempit pengertian KTUN sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 3 dengan kata lain mempersempit kompetensi pengadilan, yaitu : “pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
1.      Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang2an yang berlaku;
2.      Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang2an yang berlaku;

Pengecualian ;
Pasal 2 UU PERATUN merupakan pengecualian dari pengertian KTUN, yaitu ; “ Tidak termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha negara menurut Undang2 ini ;

1.      Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2.      Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3.      Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan;
4.      Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHPidana/KUHAcara Pidana/Peraturan Perundang2an yang bersifat hukum pidana;
5.      Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan pereundang2an yang berlaku;
6.      Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
7.      Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.”

4.Sengketa TUN
Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan/pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan paraturan perundang2an yang berlaku.
Istilah sengketa yang dimaksudkan di sini mempunyai arti khusus sesuai dengtan fungsi peradilan tata usaha negara yaitu menilai perbedaan pendapat penerapan hukum. Badan/pejabat tata usaha negara dalam mengambil keputusan pada dasarnya mengemban kepentingan umum dan masyarakat, tetapi dalam hal /kasus tertentu dapat saja keputusan itu dirasakan mengakibatkan kerugian bagi orang/badan hukum perdata tertentu. Dalam azas hukum tata usaha negara kepada yang bersangkutan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.

5.Gugatan :
5.1.Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan (Pasal 55)
Pada proses pengajuan gugatan di PTUN yang penting harus diperhatikan dengan seksama adalah masalah tenggang waktu pengajuan gugatan. Gugatan dapat diajukan hanya dalam 90 hari terhitung sejak saat diterimanya/diumumkannya keputusan badan/pejabat tata usaha negara. Konsekuensi yuridis akibat tidak dipenuhinya syarat limitatif mengenai tenggang waktu tersebut, adalah gugatan oleh ketua pengadilan dapat dinayatakan tidak diterima karena gugatan diajukan sebelum waktunya/lewat waktunya. Bagi penggugat, pengertian sejak saat diterimanya keputusan (bechikking) yang bersangkutan ini perlu diteliti :
1.      a.Apakah keputusan TUN yang disampaikan memang berupa suatu keputusan TUN yang positif telah dikeluarkan, ataukah
2.      b.Merupakan keputusan TUN fiktif menurut pasal 3 ayat 2 atau merupakan keputusan TUN yang memuat pasal 3 ayat 3?

Metode perhitungan tenggang waktu 90 hari untuk pengajuan gugatan adalah meliputi sbb :
1.      Untuk keputusan positif (berwujud, pasala 1 angka 3) maka, saat mulai dihitungnya 90 hari adalah menurut bunyi rumusan pasal 55 beserta penjelasannya, yaitu ;
Sejak hari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang digugat itu yang memuat nama Penggugat. Sejak hari pengumuman KTUN tersebut dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan.
2.      Keputusan fiktif (pasal 3), perhitungan tenggang waktu 90 hari tersebut harus dilihat apakah dalam peraturan dasarnya ditentukan mengenai batasan tenggang waktu keharusan badan/pejabat tata usaha negara mengadakan reaksi atas suatu permohonan yang telah masuk. Sehingga, perhitungan tenggang waktu 90 hari tersebut adalah sbb :
Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan pasal 3 ayat 2, maka tenggang waktu 90 hari dihitung setelah lewat tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.
Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan menurut ketentuan pasal 3 ayat 3, maka tenggang waktu 90 hari dihitung setelah lewatnya batas waktu 4 bulan, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.

5.2.Pengajuan Gugatan (pasal 54)
Pada waktu menyusun surat gugatan pertama-tama yang harus diperhatikan adalah ketentuan pasal 54, karena pasal itu menentukan kepada pengadilan mana surat itu akan diajukan. Mengenai pembagian kekuasaan hukum antar Pengadilan Tata Usaha Negara ini pasal 54 yang mengatur ke pengadilan mana gugatan itu harus diajukan menganut asas dasar yang mirip dengan asas domisili yang beralaku pada hukum acara perdata. Yang berwenang adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat. Tergugat adalah badan/pejabat TUN yang bertanggungjawab atas KTUN yang disengketakan.
Menurut pasal 54 :
1.      Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
2.      Apabila tergugat lebih dari satu badan/pejabat tata usaha negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu badan/pejabat tata usaha negara.
3.      Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan pengadilan yang bersangkutan.
4.      Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa tata usaha negara yang bersangkutan yang diatur dengan peraturan pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
5.      Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan/berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada pengadilan Jakarta.
6.      Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri, gugatan diajukan ke pengadilan tempat kedudukan tergugat.

5.3.Identitas Para pihak (pasal 56)
Di dalam UU PERATUN, secara rinci tidak ada pasal2/penjelasan yang menguraikan tentang syarat2 bagi isi gugatan tetapi di dalam ketentuan pasal 56 UU PERATUN, ada suatu syarat yang wajib/ harus dipenuhi dalam gugatan yang apabila tidak dipenuhi akan berakibat kurang lengkapnya gugatan tersebut antara lain :

1.      Syarat Formil
Syarat formil, gugatan harus memuat identitaspara pihak :
Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat/kuasanya.
Nama jabatan, Tempat kedudukan tergugat.
2.      b.Syarat Meteriil
Secara materiil suatu gugatan harus menyebutkan/menguraikan tentang :
Dasar gugatan yang biasanya diistilahkan posita/fundamentum petendi.
Tuntutan/Petitum.
3.       
5.4.Posita (pasal 53)
Dasar gugatan/posita/fundamentum petendi berisi uraian sbb :
Adanya surat keputusan tata usaha negara yang akan dijadikan sebagai obyek gugatan.
Adanya kepentingan penggugat yang merasa dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan tata usaha negara tersebut.
Gugatan diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh UU. Uraian tentang alasan gugatan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 53 ayat (2) huruf a dan b UU PERATUN sbb :
1.      Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang2an yang berlaku ;
2.      Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan asas2 umum pemerintahan yang baik.

5.5.Petitum (pasal 53 jo. Psal 97 ayat 9)
Tuntutan/petitum/hal2 yang diminta dalam gugatan tidak dapat secara bebas/leluasa, akan tetapi telah ditentukan dalam pasal 53 ayat (1) UU PERATUN yaitu agar keputusan tata usaha negara yang digugat tersebut dinyatakan batal/tidak sah dengan/tanpa disertai tuntutan ganti rugi/rehabilitasi sedangkan apabila gugatan mengenai objek gugatan yang dipersamakan dengan KTUN (gugatan melalui pasal 3) yaitu: “mewajibkan kepada tergugat menerbitkan keputusan tata usaha negara yang dimohon” (pasal 97 ayat 9).

6. Hal-hal Lain Yang Dapat Diajukan Dalam Gugatan
6.1. Penundaan Pelaksanaan Keputusan TUN (Schorsing) (pasal 67).
Sebagai menifestasi asas Praduga Rechmatig (het Vermoeden ven rechmatigheid atau praesumptio iustae causa), prinsip umum yang dianut dalam pasal 1 UU PERATUN menyebutkan bahwa gugatan tidak menunda/menghalangi dilaksanakannya keputusan badan/pejabat tata usaha negara serta tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang digugat. Berkaitan dengan prinsip tersebut pasal 67 UU PERATUN menegaskan sbb :
1.      Gugatan tidak menunda/menghalangi dilaksanakannya keputusan badan/pejabat tata usaha negara serta tindakan tata usaha negara yang digugat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar